Pertempuran Sunda Kelapa

Ibu kota Jakarta ternyata memiliki sejarah yang panjang. Nama Jakarta sendiri merupakan pemberian Fatahillah atau Faletehan setelah memenangi pertempuran melawan pasukan Kerajaan Pajajaran. Pertempuan tersebut merupakan bagian dari ekspansi Kerajaan Demak yang ingin menguasai pelabuhan penting yang berada di dekat Selat Sunda tersebut.
Fatahillah atau Faletehan, merupakan panglima pasukan Kerajaan Demak-Cirebon yang memimpin penaklukan Portugis di Sunda Kelapa pada 1527. Setelah mengusir Portugis, ia menggganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kota kemenangan. Nama Faletehan didapat dari orang Portugis bernama Joao de Barros dalam bukunya yang berjudul Decadas da Asia.
BACA JUGA: Lord Minto dan Kutukan Prasasti Sangguran alias Minto Stone
Dilansir dari laman dkijakarta.go.id, Fatahillah yang disebut juga Faletehan, merupakan Panglima Pasukan Cirebon yang bersekutu dengan Demak dan berhasil menjadi penguasa Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis pada tanggal 22 Juni tahun 1527. Sunda Kelapa kemudian oleh Fatahillah diganti nama menjadi Jayakarta. Fatahillah memang membenci orang Portugis, karena mereka dengan bantuan syahbandarnya menaklukkan kota kelahirannya, yaitu Pasei di Aceh (Sumatera) pada tahun 1521.

Kemenangan atas Kerajaan Pajajaran membuat Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakerta.(Dok/dkijakarta.go.id)
Nama aslinya Faddillah Khan atau Faletehan. Berdasarkan jalannya peristiwa sejarah yang diuraikan dalam Purwaka Caruban Nagari nama Fadhillah lebih memungkinkan untuk disamakan dengan berita Portugis yang menyebut Falatehan, demikian juga arti Fadhillah sangat mirip dengan Fatahillah yang berarti juga “kemenangan karena Allah”.
Menurut sumber Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari dan Negarakertabhumi, ayah Fatahillah dari Pasei merupakan seorang keturunan Arab dari Gujarat (India), yang pada tahun 1521 Pasei berhasil direbut Portugis.
Ia kemudian berlayar ke Mekah. Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak). Kemudian berturut-turut menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa.
Sebelum menuju Sunda Kelapa, Fatahillah yang berangkat dengan armada perang Demak, terlebih dulu menuju ke Kesultanan Cirebon guna menggabungkan kekuatan (aspek maritim). Setelah itu, armada Fatahillah menuju Banten, yang memang telah bergolak melawan Pajajaran.

Perebutan Sunda Kelapa dilatari kegusaran Sultan Demak terhadap kerjasama Kerajaan Pajajaran dan Portugis,(Dok/dkijakarta.go.id)
Tumbangnya Banten dari Pajajaran dan sebagian besar pemberontak di sana semakin menambah besar daya pukul kekuatan (fire power) armada Fatahillah. Pada 1526, Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa.
Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.
Pada tahun yang sama, Sultan Trenggono mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit di bawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon.
Pada awal 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa. Sementara, pasukan Banten secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran dari arah Barat. Pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian Timur Jawa Barat. Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa telah dipertahankan oleh Kerajaan Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut.
Setelah melalui pertempuran sengit, pada 22 Juni 1527, armada perang yang dipimpin Fatahillah akhirnya berhasil menaklukkan pasukan Portugis. Pascakemenangan tersebut, Fatahillah didaulat menjadi gubernur di Sunda Kelapa. Fatahillah pun mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang merupakan cikal bakal lahirnya kota Jakarta.

Fathahillah disebutkan memiliki nama asli yakni Faddillah Khan.(Dok/dkijakarta.go.id)
Terlepas dari perdebatan asal-usulnya, Fatahillah diakui sebagai panglima perang yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Para Sejarawan berpendapat bahwa Fatahillah menginjakkan kakinya di Jawa pada 1525, tepatnya di Tanah Sunda. Kedatangannya disambut baik oleh Raja Sunda, Prabu Surawisesa, yang dikenal oleh Portugis sebagai Raja Samio. Kerajaan Sunda pada saat itu telah melakukan kerja sama dengan Portugis guna melegitimasi kekuasaannya di Sunda Kelapa dari kekuatan politik Islam di wilayah Jawa atau Mataram. Namun, Fatahillah menilai bahwa kehadiran Portugis di Sunda Kelapa merupakan ancaman bagi seluruh wilayah Nusantara, terutama Jawa. Fatahillah kemudian pergi ke Demak dan mengabdikan dirinya kepada Sultan Trenggono, penguasa Kerajaan Demak saat itu.
Sultan Trenggono kemudian menikahkan adik perempuannya dengan Fatahillah. Selain itu, Fatahillah juga diberikan kuasa terhadap ribuan prajurit untuk mengislamkan Sunda dan merebut Sunda Kelapa dari Portugis. Dalam perjalanannya ke Sunda Kelapa, Fatahillah singgah di Kesultanan Cirebon untuk menggabungkan kekuatannya. Fatahillah diperkirakan membawa 20 kapal yang mengangkut sekitar 1.500 pasukan di bawah pimpinannya. Ekspedisi itu mulai dilancarkan pada 1526 dan berakhir pada 22 Juni 1527, ketika pasukannya berhasil mengalahkan Portugis dan menguasai Sunda Kelapa. Setelah berhasil mengusir Portugis, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Tanggal penaklukan Sunda Kelapa kemudian menjadi hari ulang tahun ibu kota negara Rebuplik Indonesia, Jakarta. Selamat Ulang Tahun, Jakarta.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar