KH Abdul Ghafar Ismail, Ulama Pejuang dan Macan Mimbar Syiar Islam

11 Aug 2022
  • BAGIKAN
  • line
KH Abdul Ghafar Ismail, Ulama Pejuang dan Macan Mimbar Syiar Islam

Abdul Ghafar Ismail lahir di Jambu Air, Bukittinggi, 11 Agustus 1911.  Di mana dulu Kyai A. Ghafar menuntut ilmu agama. Beliau alumnus Sumatera Thawalib, Parabek, Bukit tinggi. Salah seorang kawan sekolahnya Abdul Malik, anak Maninjau, yang belakangan dikenal dengan nama singkatan Hamka.

Kyai Haji Abdul Ghafar Ismail mulai mengajar di Pekalongan pada tahun 1935-1941 (6 tahun). Kemudian disambung pada tahun 1953-1997 (44 tahun) sehingga total 50 tahun lamanya ia mengajar. Penyampaian ilmu dilaksanakan dalam bentuk pengajian umum, di beranda rumah Djalan Kedjaksan 52 (belakangan menjadi Jalan Bandung 60), dengan jamaah duduk di teras rumah, meluas ke pekarangan.

BACA JUGA: Cornelis Chastelein dan Wasiat Ekologisnya

Dalam Pengajian Malam Selasa Kyai Abdul Ghafar Ismail mengajarkan Tafsir Quran dan Tasawuf. Sistematikanya adalah pembahasan Surah-surah, misalnya Al-Baqarah, Al-Kahf, Yaasin, Ar-Rahman, Waqi’ah, Mulkdan seterusnya. Pengajian Malam Selasa disampaikan secara populer, bahasanya indah, diksinya puitis, logatnya Padang. Dalam 10 tahun terakhir (1987-1997) ketika ia banyak menyampaikan tema dzikml-maut, mengingat mati, jamaah banyak yang menangis menitikkan air mata.

kh abdul ghafar ismail ikut berjuang

KH Abdul Ghafar Ismail rutin melakukan pengajian dan tafsir Alquran.(Dok/Taufik Ismail)

Ketika orde demokrasi terpimpin dan demokrasi pembangunan peran Masyumi sangat besar. Pada masa kedua orde tersebut, peran umat Islam dalam kenegaraan dikecilkan dan beberepa pihak secara berencana melontarkan macam-macam fitnah kepada umat Islam. Pada masa itu posisi da’i dan alim ulama sulit sekali. Begitu pula serupa dengan yang dialami Kyai Ghafar, yang dahulu adalah aktivis pergerakan politik Islam dan akhirnya mengabdikan diri dalam da’wah dan pendidikan di Pekalongan.

Selama di Jawa, KH Abdul Ghafar Ismail turut aktif dalam pergerakan nasional. Sekali sebulan, dia pergi ke Bandung untuk menemui Sukarno dan para aktivis PNI. Perjalanannya cukup sukar karena harus mengelak dari mata-mata kepolisian Belanda. Dibandingkan dirinya, Sukarno lebih tua 10 tahun. Namun, rentang usia dan pengalaman tidak menghalangi keakraban di antara keduanya.

Bahkan, Sukarno memandangnya sebagai adik sendiri. Dik Ghafar, kamu ajari saya agama, nanti kamu saya ajari Marxisme, demikian Sukarno kerap berkata kepadanya, seperti ditulis Taufiq Ismail. Memang, Bung Karno mendalami teori marxisme untuk menyusun konsep marhaenisme. Bagaimanapun, ayahanda Taufiq Ismail itu tidak sampai sepandangan dengan pemikiran Karl Marx sampai akhir hayatnya.

Menjelang zaman pendudukan Jepang, KH Abdul Ghafar Ismail dan keluarga tinggal berpindah-pindah dari Pekalongan ke Solo, Semarang, Yogyakarta, Bukittinggi, dan Jakarta. Selain terlibat dalam pergerakan politik, dia pun bekerja sebagai jurnalis, antara lain, pada koran Sinar Baroe yang terbit di Semarang. Di Yogyakarta, dia menjadi pemimpin redaksi al-Djihadyang diterbitkan Masyumi. Selama bermukim di sana, KH Abdul Ghafar Ismail menjalin persahabatan dengan banyak tokoh nasional, antara lain, Muhammad Natsir, Kahar Muzakkir, Mohammad Roem, AR Baswedan, AK Gani, dan Anwar Harjono.

perjuangan kh abdul ghafar ismail

KH Abdul Ghafar Ismail juga terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan.(Dok/Taufik Ismail)

Sementara itu, istri KH Abdul Ghafar Ismail aktif dalam PB Muslimat Masyumi. Lantaran fasih berbahasa Arab, Tinur sering diminta menyiar di studio Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat, Yogyakarta. Sebuah sumber menyebutkan, masyarakat negara-negara Arab pertama kali mengetahui kabar proklamasi kemerdekaan RI dari siaran yang dilakukan Tinur.

Sesudah 17 Agustus 1945, Belanda masih berambisi menguasai lagi Indonesia. Ruang gerak Indonesia dikikis kekuatan militer Belanda dan sekutu. Ibu kota RI pun harus dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Sementara itu, tentara Indonesia memerlukan banyak logistik yang hanya bisa diperoleh dari luar negeri.

Pada 1948, KH Abdul Ghafar Ismail mendapatkan amanat dari sahabatnya sekaligus menteri kemakmuran RI saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, atas perintah wakil presiden Mohammad Hatta. Dia diminta untuk memimpin sebuah misi rahasia, yakni mengatur pelayaran tujuh unit kapal Bugis (jenis Lambok dan Pinisi), masing-masing berbobot 30 ton, pergi-pulang dari Pelabuhan Juwana di Jawa Tengah ke Singapura.

Kapal-kapal layar tersebut akan mengangkut sekitar 210 ton muatan, yang terdiri atas vanila, gula, karet, serta komoditas lainnya, dari Indonesia. Sesampainya di Singapura, segenap barang itu harus ditukar dengan perlengkapan yang dibutuhkan militer RI, utamanya senjata api dan ban mobil. Rekrutmen nakhoda dan awak kapal telah dilakukan Hasan Aidid, tokoh yang belakangan dikenang sebagai perintis TNI Angkatan Laut.

Setelah mengisi khutbah Idul Fitri, KH Abdul Ghafar Ismail lekas menuju ke Pelabuhan Juwana. Dia membawa serta istri dan sejumlah anggota keluarga, termasuk Taufiq Ismail yang saat itu baru lulus sekolah dasar. Memasuki malam hari, ketujuh kapal Bugis yang dipimpinnya mulai bertolak dari Pelabuhan Juwana menuju Laut Cina Selatan. Misi ini berhasil menembus blokade Belanda di Laut Jawa. Namun, satu unit kapal karam akibat diterjang badai.

pengajiannya kh abdul ghafar ismail

Pengajian KH Abdul Ghafar Ismail selalu dipadati jemaah dari pelbagai kalangan.(Dok/Taufik Ismail)

Jaringan saudagar yang pro-kemerdekaan Indonesia diam-diam membantu pengurusan selanjutnya. Termasuk di antaranya adalah Abdul Gani, perwira polisi Singapura saat itu yang masih keturunan Bugis. Komoditas asal Indonesia dengan aman masuk ke dalam gudang. Barang-barang ini kemudian ditukarkan dengan senjata api, ban mobil, serta perlengkapan militer lainnya untuk RI. Misi rahasia ini berjalan dengan sukses hingga kembali ke Tanah Air.

KH Abdul Ghafar Ismail dikenal sebagai ulama lintas kalangan. Meskipun secara pribadi dekat dengan Sukarno, dia tidak identik pro-Orde Lama. Demikian pula di masa kekuasaan Soeharto. Meskipun kerap dimata-matai intelijen militer, dia menerima jabatan imam besar Pusat Rohani Angkatan Darat (kini TNI-AD) sambil tetap bersuara kritis terhadap Orde Baru. Pada intinya, ulama ini mendukung keutuhan NKRI. Hal ini terbukti antara lain ketika terjadi pemberontakan Abdul Kahar Muzakkar dan pasukannya pada 1950-an.

Atas permintaan perdana menteri RI saat itu, Mohammad Natsir, dia masuk ke pedalaman rimba Sulawesi Selatan untuk membujuk Muzakkar agar menyerah. Di zaman pendudukan Jepang, Muzakkar merupakan murid KH Abdul Ghafar Ismail selama 13 tahun di Solo, Jawa Tengah. Muzakkar terperanjat saat mengetahui kedatangan gurunya itu di dekat markasnya dalam situasi yang sangat riskan. Akhirnya, pemberontak ini bersedia menyerah, meskipun dinamika selanjutnya membuat sosok kelahiran Luwu tersebut berubah pikiran.

Pada 16 Agustus 1998, ayah enam orang anak ini berpulang ke rahmatullah. Ulama pejuang dan sosok toleran ini dikenang sebagai pribadi yang setia kepada agama dan negara hingga akhir hayatnya.(*)

  • BAGIKAN
  • line