Asrul Sani, Sastrawan dan Sutradara Penguak Takdir

4 Jun 2021
  • BAGIKAN
  • line
Asrul Sani, Sastrawan dan Sutradara Penguak Takdir

Pada suatu masa, saat masih di bangku kelas IV sekolah dasar berlangsung perlombaan deklamasi atau membawakan puisi secara luar kepala lengkap dengan gerak dan ekspresinya. Salah satu puisi yang diperlombakan adalah “Surat Dari Ibu”.

Itulah perkenalan pertama penulis dengan sastrawan Asrul Sani, sang empunya puisi. Puisi Surat Dari Ibu begitu membekas bahkan sampai sekarang. Begitu menyebut nama Asrul Sani, muncul pertama adalah puisi tersebut. Meski Asrul Sani kemudian dikenal sebagai sutradara yang pernah meraih piala Citra, ketokohannya sebagai sastrawan tetap mengemuka.

BACA JUGA:  Kwee Thiam Tjing Si Tjamboek Berdoeri yang Penuh Misteri

Bagaimanakah perjalanan kesastrawanan Asrul Sani dan apa sumbangsihnya bagi kesusasteraan Indonesia? Dalam bukunya Sastra dan Bahasa Indonesia Modern, kritikus sastra asal Belanda Prof A Teeuw menempatkan Asrul Sani sebagai salah satu pelopor Angkatan 45. Karya-karya Asrul Sani dalam sastra Indonesia sangat menonjol. Buku antologi puisi Tiga Menguak Takdir disebut-sebut sebagai penanda sastrawan Angkatan 45. Buku tersebut ditulis bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar.

arsul sani bersama rivai apin dan chairil anwar

Arsul Sani bersama Rivai Apin dan Chairil menulis antologi puisi Tiga Menguak Takdir.(Dok Horison)

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat 10 Juni 1927. Ia anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.

Asrul memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (HIS), Bukittinggi, pada tahun 1936. Lalu, ia masuk SMP Taman Siswa, Jakarta (1942), Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor (194.). Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1955. Jadi, ia adalah seorang dokter hewan. Akan tetapi, ia tetap memberikan perhatian pada dunia seni (sastra, teater, dan film). Bahkan, di sela-sela kuliahnya, ia masih sempat belajar drama di akademi seni drama di Amsterdam (bea siswa dari Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, 1952).

Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan “Gelanggang Seniman” (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur “Gelanggang” dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).

Selain dikenal sebagai penyair dan sutradara film, Asrul juga merupakan seorang politisi. Sejak tahun 1966 hingga 1971, dia duduk di parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dalam perjalanan hidupnya, Asrul tercatat sebagai pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950.

Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua di antaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.

asrul sani sutradara film

Asrul Sani juga menjadi sutradara film dan memenangkan beberapa kali Piala Citra.(WikiCommons)

Di bidang film, Asrul Sani terlibat dalam penyutradaan sejumlah sinema. Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, dan beberapa kali masuk nominasi.

Asrul Sani meninggal pada Minggu, 11 Januari 2004 dalam usia 76 tahun karena usia tua.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’ (Merdeka/Minggu/11/1/2004).

Banyak sekali pekerjaan yang dilakukan Asrul Sani semasa hidupnya. Ia pernah menjadi Laskar Rakyat (pada masa proklamasi), redaktur majalah (Pujangga Baru, Gema Suasana, Siasat, dan Zenith). Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1977-1987), Ketua Lembaga Seniman Kebudayaan Muslim (Lesbumi), Anggota Badan Sensor Film, Pengurus Pusat Nahdatul Ulama, dan anggota DPR/MPR (1966-1983).

Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen dan drama. Cerpennya yang berjudul “Sahabat Saya Cordiaz” dimasukkan oleh Teeuw ke dalam “Moderne Indonesische Verhalen” dan dramanya, “Mahkamah”, mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun 1950-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah “Surat atas Kertas Merah Jambu” (diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).

Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Ia mementaskan “Pintu Tertutup” karya Jean-Paul Sartre dan “Burung Camar” karya Anton P. Cheko. Ia menulis skenario film “Lewat Jam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), “Apa yang Kau Cari Palupi?” (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan “Kemelut Hidup” (mendapat Piala Citra 1979). Ia juga menyutradarai film “Salah Asuhan” (1972), “Jembatan Merah” (1973), dan “Bulan di atas Kuburan” (1973).

Menyimak kisah dan perjalanan hidup Asrul Sani, rasanya ia menggenapi hampir setiap bait dalam puisi Surat Dari Ibu. Sebuah puisi yang oleh sejumlah kritikus sastra dinilai sebagai pesan cinta Tuhan kepada umatNYA.
…………….
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang

dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”(*)

  • BAGIKAN
  • line