Kwee Thiam Tjing Si Tjamboek Berdoeri yang Penuh Misteri

Tjamboek Berdoeri, barangkali aneh mendengar nama itu, sekilas terasa seram mendengar sebutan yang tak lazim tersebut. Bahkan semakin aneh ketika mengetahui sebutan tersebut adalah nama seorang jurnalis Tionghoa yang pernah berdomisili di Mergosono, Kota Malang, Jawa Timur.
Dikaji lebih jauh, ternyata Tjamboek Berdoeri itu bukan nama asli melainkan nama samaran seorang Tionghoa bernama lengkap Kwee Thiam Tjing. Pria ini menuliskan sebuah karya jurnalistik tentang keadaan Kota Malang khususnya ketika era perang fisik dari zaman penjajahan Belanda hingga pendudukan Jepang.
Nama pengarang “Tjamboek Berdoeri” dengan kata pengantar yang ditulis oleh seseorang bernama Kwee Thiam Tjing. Dalam kata pengantar itu, Kwee Thiam Tjing mengaku disuruh oleh si pengarang untuk menerbitkan buku ini supaya menjadi peringatan bagi generasi mendatang. Sementara perihal si pengarang, tak ada keterangan penjelas.
Kenapa Kwee Thiam Tjing memilih jadi jurnalis? Padahal dia anak pertama, yang dalam etnis Tionghoa biasanya berdagang. Baginya profesi jurnalis membuat dirinya merdeka dan bebas.
Kehidupan Kwee Thiam Tjing atau Tjamboek Berduri agak unik dan berbeda dari kalangan Tionghoa pada umumnya. Pada saat usianya tujuh tahun, orang tuanya memasukkannya untuk studi di sekolah orang Eropa yakni Eurospeesch Lagere School (ELS).
Indonesianis Ben Anderson menduga Tjamboek keterima di ELS karena ada keturunan kapiten Tionghoa. Tapi kalau membaca di Menjadi Tjamboek Berdoeri mungkin dari orang yang menjadi tempat indekos yang memungkinkan keterima di ELS.
Kwee Thiam Tjing tinggal di Malang hingga 1949. Ia adalah salah satu keturunan Tionghoa progresif yang tinggal di sana. Malang juga menjadi pusat politik baru saat itu setelah Surabaya lumpuh akibat perang 100 hari. Sebagai sebuah Kotapraja semenjak 1914, dalam segi sosial kultural, masyarakat Malang saat itu sudah memiliki infrastruktur yang cukup baik untuk ukuran kota Hindia Belanda.
Sesudah umur 14, Kwee Thiam Tjing ia menyelesaikan Mulo dan sempat bekerja sebagai juru tulis di Nierop. Sesudah itu ia bekerja di Bandung selama 1-2 tahun di majalah Lay po.
Pada usia 24 tahun, Kwee Thiam Tjing sudah memakai nama samaran Tjamboek Berdoeri. Tapi sebelum itu ia juga pakai nama samaran lain saat bekerja di Pewarta Soerabaja. Nama lainya saat itu bernama “Togok”.
Tahun 1926 ia dikenai sembilan delik pers, sehingga terpaksa mendekam selama sepuluh bulan di penjara Kalisosok, Surabaya dan penjara Cipinang, Jakarta. Kejadian ini dicatat dalam artikel “Tanggal Paling Tjilaka” di Soeara Publiek, Surabaya 5 Januari 1926.
Kwee Thiam Tjing pernah memiliki surat kabar sendiri bernama “Pembrita Djember” (1933). Pada koran yang terbit 2 halaman setiap sepuluh hari sekali itu itu, Kwee Thiam Tjing bekerja sendirian sebagai wartawan sekaligus pemimpin redaksi dengan dibantu seorang kawannya yang bertugas sebagai administrasi.
Koran “Pembrita Djember” dicetak oleh percetakan Handelsdrukkerij “The Eureka”, Embong Tengah Jember, yang merupakan percetakan milik Kwee Thiam Tjing pribadi.
Sesudah kemerdekaan, pada 1954 ia pindah ke Jakarta tidak ada tulisanya sama sekali. Baru pada tahun 70-an muncul kembali. Selidik punya selidik, Kwee Thiam Tjing pernah tinggal di Jl. Cendana pada tahun 50-an. Selain itu, koran-koran juga sudah mulai hilang. Seperti Star Weekly.
Tjamboek Berdoeri mengungkapkan sisi gelap revolusi kita. Saat Jepang masuk Kota Malang diakhiri situasi tragis saat pembantaian di Mergosono. ini menjadi pijakan kita terkait masa silam Indonesia. Melalui kesadaran sejarah, semoga peristiwa yang melukai kemanusiaan itu tidak pernah terjadi lagi.
Kwee Thiam Tjing berpesan kepada kita bahwa untuk mencapai kesadaran perlu pemahaman. “Dan boeat bikin sedar diri sendiri, ini hal tida aken bisa kedjadian bila kita poenja kepandean tjoema bisa plembang-plemboeng seperti kodok dalem soemoer.”
Kwee Thiam Tjing meninggal dunia pada akhir Mei 1974, ia dimakamkan di pemakaman Tanah Abang I (sekarang Taman Prasasti) di Jakarta. Pemakaman ini pernah digusur, akibatnya makam Kwee digali kembali dan tulang-belulangnya dikremasi dan abunya ditabur ke Laut Jawa.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar