Trenggiling, Si Kuat yang Terancam Punah

Dalam beberapa tahun belakangan keberadaan Trenggiling terancam punah. Satwa dengan nama Latin Manis Javanica ini selalu menjadi objek penjualan ilegal. Padahal jumlah Trenggiling yang hidup di alam liar terus mengalami penurunan populasinya. Dilansir dari lipi.go.id, manusia menjadi predator nomor satu hewan yang dalam bahasa Inggris disebut Pangolin yang berasal dari kata bahasa Melayu Penggulung.

Ancaman kepunahan Trenggiling jelas merupakan sebuah kontradiksi, pasalnya pada tanggal 3 Maret 1973, Indonesia termasuk negara yang sepakat menandatangani naskah konvensi Convention on International Trades of Endangered Species of Wild Flora and Fauna(CITES). Selain itu, berdasarkan Permen LHK No.P.106/MENLHK/KUM.1/12/2018 disebutkan bahwa Trenggiling termasuk jenis satwa yang dilindungi.

BACA JUGA: Pertempuran Sunda Kelapa

Bahkan dalam peraturan menteri tersebut jelas-jelas menyebutkan sanksi hukum dan pidana terhadap siapa saja yang terlihat dalam menangkap, menjual dan memiliki satwa termasuk Trenggiling.

trenggiling terancam punah

Ancaman kepunahan trenggiling berasal dari penangkapan dan penjualan ilegal.(Dok/kemenlhk.go.id)

Ancaman bagi yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakansatwa dilindungi dalam keaadaan hidup atau mati ataupun berupa bagian tubuh, telur dan merusak sarangnya yang semua ini tercantum dalam UU no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemya yang jika melanggar sanksi hukumnya berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.

Merujuk pada data yang dilansir World Wild Fund (WWF) Indonesia selama 2019-2021, terdapat 60. 624 ekor trenggiling yang berhasil diamankan dari perdagangan ilegal di Kalimantan. Kalimantan Barat 16.128 ekor, Kalimantan Tengah 9.324 ekor, Kalimantan Selatan 3600 ekor, Kalimantan Timur 12.600 ekor  dan Kalimantan Utara 18.972 ekor trenggiling.

Maraknya penjualan ilegal tidak terlepas dari dua kelompok penadah atau pembeli. Dua segmen itu yaitu perdagangan untuk koleksi barang antik dan perdagangan untuk stok bahan baku. Stok bahan baku di sini bisa untuk konsumsi, atau sebagai bahan utama pembuatan kosmetik juga obat. Di segmen barang antik, kebanyakan satwa yang diburu dan diperdagangkan adalah aneka burung liar seperti rangkong gading. Dimana paruh rangkong adalah yang diincar, untuk diukir dan digunakan sebagai barang koleksi mahal.

penjualan ilegal trenggiling

Trenggiling dijual untuk kepentingan obat tradisional dan makanan di Cina.(Dok/kemenlhk.go.id)

Trenggiling sendiri diincar sisiknya. Oleh pemburu, dagingnya terkadang dikonsumsi sendiri karena kurang laku dijual. Sedangkan sisiknya akan dikumpulkan dan dijual per kilo. Di dataran China, sisik trenggiling laku keras. Dianggap mujarab menyembuhkan penyakit sehingga diramu menjadi obat tradisional. per kilo sisik dari spesies trengggiling apapun, biasanya dijual dalam rentang harga 800-900 ribu rupiah. Sedangkan satu ekor trenggiling dewasa berukuran sedang, biasanya memiliki sisik seberat satu kilogram.

Daging trenggiling diperdagangkan sebagai bahan masakan mewah atau makanan warga lokal. Dalam industri produk kulit, kulit trenggiling biasanya diolah menjadi sepatu. Sementara itu, sisik trenggiling digunakan sebagai bahan kosmetik ataupun obat.

Padahal satwa bersisik ini termasuk yang reproduksinya paling lamban dan lama. Trenggiling adalah satwa mamalia yang bereproduksi atau berkembang biak secara seksual dengan cara melahirkan (vivipar). Satwa ini mempunyai tingkat reproduksi yang sangat rendah, dalam setahun melahirkan 1-2 kali pada musim kawin. Satu kelahiran hanya menghasilkan satu anak trenggiling, dan siklusnya setelah 18-24 bulan baru melahirkan lagi. Hewan pemakan semut ini susah berkembang biak.

trenggiling lamban berkembang biak

Trenggiling memiliki mekanisme pertahanan diri yang paling kuat.(Dok/kemenlhk.go.id)

Menurut Prof. Dr. Gono Semiadi, Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian Biologi LIPI masa kebuntingan trenggiling betina sekitar 90-139 hari, dengan masa sapih sekitar empat bulan dan mencapai usia dewasa sekitar dua tahun. Trenggiling terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang hidup dominan secara terrestrial (di permukaan tanah) dan yang dominan arboreal (bergerak di atas pohon). Yang jantan cenderung soliter (sendiri) dan bersifat aktif mencari betina saat musim kawin.

Sebagai satwa yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), biasanya trenggiling tidur sepanjang hari di lubang-lubang dalam tanah. Trenggiling membuat sarang di tanah dengan menggali dan berbentuk terowongan. Panjang galian dapat mencapai delapan meter dan memiliki percabangan yang berliku-liku sebagai strategi untuk mengelabui mangsa apabila terdesak. Sisik coklat mereka merupakan kamuflase yang sempurna di hutan. Mereka dapat bersembunyi di liang atau di atas pohon, tempat yang secara mengejutkan membuat mereka dapat bergerak cepat. Trenggiling bisa mempertahankan dirinya sendiri dengan cara membentuk pola melingkar sehingga badannya tertutup sisiknya. Hanya manusia yang bisa menangkap dan mengancam kehidupan Trenggiling.

trenggiling kalimantan

Trenggiling bukan hewan peliharaan. Jika dikurung ia akan mati.(Dok/kemenlhk.go.id)

Di Indonesia belum ada yang secara khusus mengembangbiakkan trenggiling, peneliti LIPI pernah mencoba melakukan di luar habitat tapi belum berhasil. Penelitian tentang trenggiling jarang dilakukan karena mahalnya biaya perawatan serta panjangnya proses perijinan karena statusnya sebagai satwa dilindungi.

Bentuknya yang unik dan menarik menjadi daya tarik manusia menangkap Trenggiling. Tak sedikit yang membawanya sebagai peliharaan, padahal hewan ini bukan peliharaan. Trenggiling adalah hewan yang sangat sulit dikurung dan kebanyakan mati dalam waktu enam bulan. Jadi, jangan coba-coba untuk jadikan Trenggiling sebagai peliharaan ya.(*)

  • BAGIKAN
  • line