Sutardji Calzoum Bachri ‘Presiden’ Penyair Indonesia dari Indragiri Hulu

Dalam khazanah sastra Indonesia kontemporer, setidaknya ada dua tokoh yang mendapat julukan khusus. Keduanya adalah pertama HB Jassin yang dijuluki sebagai ‘Paus’ sastra Indonesia lantaran keuletan dan kemahiran mengumpulkan para sastrawan beserta karya-karyanya. Sedangkan tokoh kedua yakni Sutardji Calzoum Bachri. Sutardji, demikian sapaannya dijuluki “Presiden” penyair Indonesia.
Gelar ‘Presiden’ penyair yang disematkan kepada Sutardji bukan isapan jempol belaka jika menyimak sepak terjang dan karya-karya dalam dunia kesusasteraan Indonesia khususnya dalam hal puisi. Sutardji oleh sejumlah kritikus disebut sebagai pelopor dan pendobrak gaya puisi baru. Sebuah gaya yang membebaskan kata-kata dari segala beban kepentingan dan tafsir.
BACA JUGA: Asrul Sani, Sastrawan dan Sutradara Penguak Takdir
Berdasarkan data dari ensiklopedia Kemendikbud, Sutardji Calzoum Bahri lahir 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Dia anak kelima dari sebelas orang bersaudara. Ayahnya, Mohammad Bachri, berasal dari Prembun, Kutoardjo, Jawa Tengah, yang sejak masa remaja merantau ke Riau sampai memperoleh jabatan sebagai Ajun Inspektur Polisi, Kepolisian Negara, Kementrian Dalam Negeri, Republik Indonesia di Tanjung Pinang, Riau (Tambelan). Ibunya bernama May Calzoum berasal dari Riau (Tambelan).

Sutardji Calzoum Bachri terkenal dengan gaya baca puisinya yang unik.(Dok/Kemendikbud)
Jenjang pendidikan yang dilalui Sutardji dimulai SD, SMP, SMA, kemudian Fakultas Sosial Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, tetapi tidak selesai.
Proses kreatifnya dimulai sejak mahasiswa saat berumur 25 tahun. Dia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke surat kabar dan mingguan di Bandung, dan di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Haluan, Horison, dan Budaya Jaya.
Dalam mengasah kepenyairannya, Sutardji pernah bekerja di majalah Horison sebagai redaktur dan sejak tahun 1996 ia menjadi redaktur senior majalah tersebut. Ia juga sempat bergabung dengan majalah mingguan Fokus. Selain itu Sutardji juga bekerja menjadi penjaga ruang seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas (2000-2002) setelah berhenti menjadi redaktur pada majalah sastra Horison.
Pada tahun 1971, sajaknya berjudul “O” yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra Horison. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul “Amuk” kembali dimuat. Sutardji di kemudian hari dikenal dengan “Kredo Puisi” yang menarik perhatian dunia sastra di Indonesia.
Menurut Sutardji, kata-kata bukan sekadar sarana untuk menyampaikan pengertian karena menurutnya, kata-kata itu sendiri adalah pengertian. Dia berpikir bahwa kata-kata itu harus terbebas dari penjajahan pengertian dan dari beban ide, serta penjajahan gramatika dan tabu bahasa.
Jadi, kata-kata itu harus bebas menentukan dirinya. Dengan demikian, menurut Sutardji, penyair harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kata-kata agar kata-kata dapat mewujudkan diri sendiri dan menciptakan dunia pengertiannya sendiri. Kata-kata dalam sajak-sajak Sutardji dapat ditulis sungsang, dipotong, atau dibalik susunannya.
Sutardji berpendapat, menulis puisi itu ialah membebaskan kata-kata dan itu berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata dan kata pertama adalah mantra. Dengan demikian, menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantra.

Sutardji Calzoum Bachri membawakan salah satu puisinya.(Dok/Kemendikbud)
Kepenyairan dan predikat ‘Presiden’ penyair Indonesia bagi Sutardji Calzoum Bachri jelas menunjukkan kualitas karyanya. Sutardji merupakan salah satu pelopor sastrawan angkatan 1970-an. Puisi-puisinya dipandang para pakar sebagai karya yang membawa nafas baru dalam dunia perpuisian Indonesia.
Selain itu, Sutardji juga dikenal sebagai pembaca puisi yang unik, ia sering tampil membacakan puisi di atas panggung. Dalam berpuisi, ide atau opini dalam sajak-sajak yang disampaikan tidak hanya berupa isi pikiran, tetapi juga menyangkut suasana batin dan naluri. Di samping itu, puisi yang dibacakan mudah dicerna oleh para pendengarnya.
Karya-karya Sutardji berbentuk puisi, cerpen, dan esai. Kumpulan puisinya yang pertama berjudul O (1973). Kumpulan puisi berikutnya Amuk (1972). Buku ini pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1979 terbit buku kumpulan puisinya yang ketiga Kapak. Pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan puisinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak dan diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, Inia, 1975), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979).
Sutardji juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya Hujan Menulis Ayam diterbitkan oleh Indonesia Tera, tahun 2001. Pekerjaannya sebagai redaktur puisi untuk lembaran seni “Bentara” Kompas memberinya kesempatan menulis esai. Kumpulan esainya Gerak Esai dan Ombak Sajak Tahun 2001 dan Hijau Kelon & Puisi 2002 berasal dari dua esai yang mengantar kumpulan puisi “Bentara”. Saat ini Sutardji menyiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”.
Sebagai penyair, Sutardji mendapat sejumlah penghargaan baik berskala nasional maupun regional ASEAN. Penghargaan itu meliputi Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977, Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand tahun 1979, Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia tahun 1993, Penghargaan Sastra Chairil Anwar tahun 1998, Tahun 2001 ia dianugerai gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau, tahun 2008 Ketua Dewan Kesenian Riau (Eddy Akhmad R.M.) menabalkan bulan Juni sebagai bulan Sutardji, dan menerima Bakrie Award 2008.
Credo puisi gaya Sutardji Calzoum Bachri mempengaruhi dunia puisi Indonesia. Menurut Sutardji, puisi itu layaknya sebuah mantra. Karya-karyanya yang khas dan unik selalu mendapat perhatian para pencinta sastra Tanah Air. Dogma puisi yang melambai dan berbunga-bunga dibabat Sutardji dengan kata-kata yang lugas, terang namun tetap memiliki rima yang menawan. Tidak percaya, silakan baca saja salah satu puisinya yang berjudul “TAPI”.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar