Sitor Situmorang, Sastrawan Batak yang Tak Bisa Dibeli

25 Mar 2020
  • BAGIKAN
  • line
Sitor Situmorang, Sastrawan Batak yang Tak Bisa Dibeli

Lahir di Desa Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, 2 Oktober 1923, Sitor Situmorang bukanlah orang sembarangan. Ia adalah pujangga Indonesia yang sudah melahirkan banyak karya sastra.

Kecintaan Sitor Situmorang terhadap sastra sudah ada sejak kecil. Ketika itu, masih kelas dua SMP, ia main ke rumah abangnya di Sibolga. Di sana Sitor menemukan buku karya Multatuli nama pena dari Eduard Douwes Dekker berjudul Max Havelaar.

Sitor menyelesaikan membaca buku itu selama 2-3 hari tanpa putus. Biarpun buku itu berbahasa Belanda dan Sitor kurang begitu fasih menguasai bahasa itu, buku Max Havelaar membuat jiwa nasionalismenya membara.

Ia kemudian menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda karya Max Havelaar ke bahasa Batak. Sejak saat itu minatnya terhadap sastra terus bertambah. Minat tersebut diiringi cita-cita Sitor yang ingin menjadi pengarang.

Penjalanan Sitor Dimulai

Sitor tamat SMP (MULO) di Tarutung tahun 1941, kemudian pergi ke Batavia untuk mengenyam pendidikan sekolah menengah atas (AMS) dan masuk jurusan hukum. Namun, ketika Jepang datang menyerang, harapan Sitor berubah. Jepang menawarkan sekolah yang lebih baik di Tokyo.

Pada tahun 1943, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Jepang dan menimba ilmu di sana. Setelah pulang ke tanah air, Sitor bekerja untuk Jepang di kantor keuangan yang ada di Sibolga dan tak lama pindah ke Tarutung.

BACA JUGA: Jejak Perjuangan Sanusi Pane

Ia bekerja di sana hingga Jepang memutuskan untuk mundur. Setahun setelah Indonesia merdeka tahun 1946, Sitor menjadi redaktur surat kabar Suara Nasional yang diterbitkan Komite Nasional daerah Tapanuli.

Sejak bergabung bersama Suara Nasional ia mulai kembali ke dunia tulis menulis. Sitor kemudian memutuskan bekerja sebagai wartawan di kota besar.

Sitor Situmorang. (Ist)

Sitor Situmorang. (Ist)

Di tahun 1947, atas izin istrinya, ia pergi ke Medan dan mulai bekerja di surat kabar Waspada hingga akhirnya ia dikirim untuk menjadi pewarta di Jakarta dan Yogyakarta. Di Jakarta, ia tahu kalau ada banyak sastawan terkenal seperti Chairil Anwar dan Asrul Sani.

Sitor kemudian mendapat beasiswa dari Belanda untuk pergi ke Eropa di tahun 1950. Setelah tiga tahun menuntut ilmu, Sitor pulang ke Jakarta ia semakin yakin kalau mampu menulis karya-karya sasta.

Banyak karya-karya sasta Sitor yang mendunia seperti kumpulan puisi Zaman Baru (1962), kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), kumpulan essai Sastra Revolusioner (1965) dan kumpulan puisi Angin Danau (1981).

Sitor di Mata Anak

Perjalanan panjang dalam berkarya agaknya membentuk karakter Sitor Situmorang di dalam lingkungan keluarga. Dilansir CNN Indonesia, salah satu anaknya bernama Gulontam mengaku kalau sang ayah bukanlah orang yang dekat dengan anak-anaknya.

Sitor juga sosok pendiam. Mengomel pun hanya terjadi ketika ayahnya, Gulotam memiliki rapor merah atau saat pulang terlalu malam lantaran menonton tayar tancap.

Sang ayah semakin jauh dari keluarga setelah terlibat urusan politik bersama Sukarno. Ia banyak ke luar negeri sebagai perwakilan budaya dari Indonesia.

“Sejak awal, Bapak bukan tipe ayah yang standar,” ujar Gulontam pada CNN Indonesia untuk artikel Sitor Situmorang Bagai Dua Sisi Mata Uang yang diterbitkan pada Rabu 20 Januari 2016.

Sitor Situmorang. (Ist)

Sitor Situmorang. (Ist)

Bukan cuma dikenal sebagai orang yang tertutup, Sitor memiliki idealisme yang tinggi. Saking tingginya, tak ada istilah ‘time is money‘.

Sitor juga tak bisa ‘dibeli’ oleh rezim Soeharto yang membuatnya di penjara sebagai tahanan politik selama tujuh tahun. “Bagi dia, no time for money. Uang terlalu remeh bagi dia untuk dipikirkan,” tutur Gulontam.

Namun, prinsip hidupnya itu pula yang membuat hidup keluarga Sitor terlunta-lunta. Hingga akhir hayatnya Sitor tak pernah memberikan rumah untuk istri dan keenam anaknya.

Padahal sepanjang hidupnya, pekerjaan Sitor tak sembarangan mulai dari anggota MPRS, Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional hingga dosen Akademi Teater Nasional Indonesia.

  • BAGIKAN
  • line