Sate Kere, Simbol Perlawanan Kaum Proletar Terhadap Selera Borjuasi Kolonial

Bagi masyarakat Solo, Jawa Tengah, makanan yang satu ini bukan makanan biasa. Tapi lebih dari itu, Sate Kere merupakan menu perlawanan terhadap feodalisme dan kolonialisme yang acap memuja sesuatu yang ‘kebarat-baratan’ sebagai penanda derajat dan etalase kemewahan. Sate kere mengoreksi selera orang lewat sajian sederhana namun bercita rasa lezat dan enak.
Dilansir dari 1001 Menu Masakan Indonesia(2002) Sate Kere adalah salah satu kuliner khas Solo yang terbuat dari tempe gembus atau tempe yang dibuat dari ampas tahu). Bukan hanya tempe saja, bahan dasar Sate Kere juga menggunakan jeroan sapi paru dan usus sapi. Sate ini dilengkapi dengan bumbu kacang atau sambal kecap yang sama seperti sate pada umumnya.
BACA JUGA: Permainan Tetris, Game Asyik yang Pernah Dimainkan di Ruang Angkasa
Kuliner yang pada awal kemunculannya dianggap murahan kini menjadi incaran banyak orang. Sate Kere muncul sejak zaman kolonial Belanda. Martabatnya mulai terkerek, harganya pun ikut menjulang. Para pencinta kuliner seperti sudah tidak peduli lagi dengan riwayat dan latar belakang sate ini yang begitu pekat dengan nasib getir serta perjuangan rakyat kelas bawah atau kaum proletar. Tidak lagi dilihat dari segi bahannya yang terbilang ‘buangan’ atau remeh. Di masa kolonial bahan-bahan seperti ampas tahu dan jeroan sapi selalu dijauh pejabat Eropa dan bangsawan keraton. Meja hidangan kaum aristokrat dan tuan burjuis kulit putih tidak akan ditemukan gembus dan jeroan sebab itu adalah suatu pantangan.

Sate Kere dianggap sebagai makanan kaum proletar oleh pejabat kolonial Belanda.(Dok/1001 Menu Resep)
Dosen Fakultas Sastra Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko dalam sebuah ulasannya di koran terbitan ibu kota dengan judul Historiografi Sate Kere memaparkan bahwa pada zaman dulu di perkotaan besar di Jawa lazim ditemukan abattoir(tempat penyembelihan hewan). Bangunan didirikan pemerintah kolonial Belanda bersama penguasa lokal ini guna menjamin konsumsi golongan Eropa akan daging sapi. Demi menjaga kesehatan konsumen, pengelola abattoir pantang menjual daging bercampur gajih atau gemook.
Sejak tahun 1849 dikeluarkan kebijakan perihal pemotongan sapi dan kerbau lewat staatsblad(lembaran negara tahun 1849 no 52 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan 18 pasal aturan dan kebijakan terkait pemotongan sapi dan kerbau. Salah satunya pasal 9 tentang regulasi larangan penjualan daging yang ditutupi gemuk atau gajih atau lemak yang isinya berbunyi: Binatang njang dipotong, baik antero atawa potong-potongannya tiada bolee di toetoop sama gemook, tetapi misti ditinggalken begimana adanja, dan lagi tiada bolee potong binatang njang sakit, atawa djoewal dagingnja binatang njang mati (Binatang yang dipotong, baik seluruh atau potong-potongannya tidak boleh ditutup sama gemook, tetapi mesti ditinggalkan bagaimana adanya, dan lagi tiada boleh potong binatang yang sakit, atau dijual dagingnya binatang yang mati.

Sate Kere merupakan perlawanan wong cilik terhadap borjuasi selera kaum aristokrat dan pejabat Belanda.(Dok/1001 Menu Resep Indonesia)
Tak heran, pada masa tersebut sate adalah makanan mahal, hanya orang-orang berduit saja yang bisa menyantapnya. Ditopang rasa ingin menikmati lezatnya sate, masyarakat kelas bawah atau proletar membuat makanan berbahan dasar selain daging. Bahan yang digunakan adalah tempe gembus atau ampas tahu dan jeroan. Walaupun memakai bahan-bahan non daging, cita rasanya tidak kalah dengan sate daging.
Sate kere merupakan potret budaya tanding atau counter culture terhadap kecenderungan cita rasa kaum borjuis yang ‘kebarat-baratan’. Sate ini menampilkan gaya hidup yang menyimpang dari realitas sosial yang sudah mapan. Tak pelak lagi, budaya tanding melalui Sate Kere mencerminkan konflik gaya hidup kelas. Pihak wong cilik atau proletar yang merasa kalah dalam urusan makan tidak putus asa atau marah, mereka membalasnya dengan menciptakan kreasi baru.

Sate Kere kini menjadi kuliner yang digemari semua kalangan.(Dok/1001 Menu Resep Indonesia)
Hingga sekarang Sate Kere sudah tidak lagi menjadi makanan kaum proletar atau kelas bawah. Hampir semua orang menggemari sate ini. Siapa sangka, sate yang semula dianggap sebagai santapan kelas bawah kini menjadi favorit semua kalangan. Kamu sudah pernah mencicipi Sate Kere?(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar