Panas Dingin Hubungan Bang Ali dan Soeharto

Beberapa kala lagi Pekan Raya Jakarta (PRJ) akan dibuka secara resmi. Para pejabat tingkat pusat dan derah telah menempati kursinya masing-masing. Pihak protokol dengan rapih mengatur posisi para undangan. Namun, belum tampak wajah Gubernur Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin. Ia memang tak lagi menjabat sebagai pucuk pimpinan Jakarta, tetapi sosoknya sangat penting dalam sejarah penyelenggaraan PRJ.
PRJ digagas Bang Ali sebagai pusat hiburan rakyat, pameran kerajinan para pengrajin dalam negeri, serta lahan bisnis. Gubernur ke-VII Jakarta tersebut terinspirasi Pasar Malam Gambir yang di masa kolonial digelar meriah dalam rangka memeringati ulang tahun Ratu Wilhelmina. Di lokasi serupa, Monumen Nasional (Monas) Bang Ali bertekad menginisiasi acara serupa berbeda dari Pekan Raya Nasional I (Agustus 1953) dan Pekan Raya Internasional (Oktober 1952).
Pada 15 Juni 1968 Djakarta Fair digelar dalam menyambut peringatan HUT ke-441 Jakarta. Acara berlangsung selama sebulan penuh menyajikkan hiburan, pameran kerajinan dengan jumlah 116 peserta, bioskop, dan kesenian daerah. Melihat antusiasme warga, Bang Ali ingin acara tersebut berlangsung tiap tahun sehingga ditabalkan melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah tanggal 16 Desember 1968 dengan No.jb.3/3/28/1968 tentang Pembentukkan Yayasan Penyelenggara Pekan Raya Jakarta. PRJ menjadi salah satu warisan Bang Ali.
BACA JUGA: Sihir Bang Ali Hadirkan Hiburan Murah Meriah Warga Jakarta
Namun, pada pembukaan PRJ malam itu tanpa kehadiran penggasnya. “Merayakan pembukaan Pekan Raya Jakarta pun saya tidak boleh diundang, padahal saya mendirikan PRJ,” kata Ali Sadikin pada Bang Ali pada Pers Bertanya Bang Ali Menjawab. Bekal tudingan Bang Ali, sebab Sudomo pernah berkata pencekalan tersebut bukan perintah presiden.
Hubungan Bang Ali dan Presiden Soeharto memang sempat ‘panas-dingin’. Seharusnya jabatan Bang Ali sebegai Gubernur Jakarta berakhir Agustus 1977. Namun, serah terima jabatan dipercepat menjadi 11 Juli 1977. Alasan kuat dipercepatnya lantaran hubungan Bang Ali dengan Soeharto kurang harmonis. Keduanya acap bersebrangan seacara pandangan politik.
Di sisi lain ketenaran dua tokoh tersebut saling menguat. Bang Ali, menurut Susan Blackburn pada Jakarta: Sejarah 400 Tahun, acap diperbandingkan dengan Soeharto sebagai sosok paling berpengaruh. Bang Ali terlihat sangat dekat dengan rakyat, sementara Soeharto sangat dingin dan tegas.
“Soeharto pasti jenuh karena selalu dibandingkan dan jenuh dengan semua spekulasi bahwa Sadikin mungkin mengikuti jejak Soeharto menjadi presiden, atau bahkan malah akan menggantikannya,” tulis Blackburn.
Hubungan panas mereka menemui puncaknya tentu saja saat kemunculan Petisi 50, dan Bang Ali sebagai salah seorang inisiatornya. Di masa pensiunnya, Bang Ali acap mengoreksi pemerintahan Orde Baru. (*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar