Napas Panjang UMKM Surabaya Bangun Kampung Kue

Usaha kuliner khususnya berhubungan dengan kue terus diminati masyarakat dari waktu ke waktu. Mulai dari kue tradisional hingga kue kreasi kekinian yang diminati kaum milenial. Berkaca pada pengalaman Choirul Mahpuduan, seorang ibu dari Surabaya, Jawa Timur, untuk tetap survive dan sukses dalam menjalankan usaha kue butuh kerja keras dan keinginan untuk berubah.
Ibu rumah tangga ini berusia setengah abad lebih itu kini telah menjadi pebisnis sukses. Awalnya, Mahpuduan memerlukan ‘napas panjang’ agar bisa bertahan menjalankan usaha kuenya. Semua itu berawal dari tahun 2005 ketika ia melibatkan ibu-ibu membangun komunitas usaha yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Kue.
BACA JUGA: Kiat Sukses UMKM Jabar Tak Mesti Nebeng ke Jakarta
Di tengah kegalauannya akibat terkena PHK dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik, Mahpuduan tak mau berlama-lama meratapi nasibnya. Ditopang keinginan untuk berubah, ia memilih mendirikan komunitas usaha perempuan di kampungnya. Di dalam komunitas ini terdapat beberapa unit usaha termasuk usaha kue miliknya. Kampung Kue merupakan paguyuban yang anggotanya terdiri dari 63 orang pengusaha kue.

Kampung Kue mendapat suntikan permodalan dari BRI.(Dok/kemenkopukm.go.id)
Dilansir dari situs kemenkopukm. usaha Kampung Kue itu didorong oleh pengalaman Mahpuduan melihat ibu-ibu di kampungnya yang pada pagi hari tidak memiliki pekerjaan dan jauh dari kegiatan produktif. Apalagi saat siang hari, ibu-ibu tersebut dikejar rentenir. Dari situ ia berpikir unutk membuat komunitas Kampung Kue di Rungkut Lor Gang 2 RT 04 RW 05, Kelurahan Kalirungkut, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya agar ibu-ibu menjadi produktif.
Sebelum mendirikan komunitas ia terlebih dahulu melakukan pengamatan kecil-kecilan. Warga setempat pada tahun 1970-an dikenal sebagai produsen pakaian dalam laki-laki dan perempuan. Kemudian ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 sebagian ada yang memproduksi kue. Akhirnya, Mahpuduah mencoba mengembangkan potensi yang pertama, yaitu mengembalikan kejayaan Rungkut Lor Gang 2 dengan membuka usaha sulam pita. Akan tetapi, usaha itu tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian ibu-ibu.
Menurutnya, membangun komunitas usaha bisa mengangkat martabat perempuan menjadi pribadi yang lebih produktif, khususnya bagi ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 yang sebelumnya menganggur. Berbekal tekad yang kuat, akhirnya pada tahun 2005 resmi berdiri komunitas “Kampung Kue” yang didalamnya terdiri dari 63 pengusaha kue, baik kue basah maupun kering.
Ia mengajak ibu-ibu ikut pelatihan membuat kue sehingga lama-kelamaan memiliki jaringan dengan LSM-LSM perempuan, serikat buruh dan dinas-dinas dengan perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, universitas dan para mahasiswa yang akhirnya membuat nama Kampung Kue makin dikenal khalayak ramai.

Kampung Kue sekarang menjadi oleh-oleh khas Surabaya.(Dok/kemenkopukm.go.id)
Saat awal mendirikan komunitas Kampung Kue, dihadapkan dengan kesulitan pembiayaan. Saat itu, semua pendanaan masih keluar dari kantong pribadi Mahpuduah. Kemudian, dia sadar bahwa diperlukan urunan dana dari anggota. Terkumpulah dana sebanyak Rp150 ribu yang berasal dari 3 orang anggota komunitas Kampung Kue. Dana tersebut digunakan untuk simpan pinjam anggota jika memerlukan dana untuk membuat kue.
Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas terus bertambah, dari 10 orang menjadi 15 orang, seterusnya hingga kini ada 63 orang. Setiap anggota diarahkan untuk memiliki simpanan pokok Rp50 ribu dan simpanan sukarela disesuaikan dengan kemampuan anggota, sementara simpanan wajibnya Rp10 ribu per bulan. Meski awalnya sempat mengalami kesulitan pendanaan, namun setelah semua perusahaan swasta, BUMN, pemerintah dan akademisi mengenal kampung kue, akses permodalan pun menjadi lebih mudah termasuk suntikan modal dari BRI.
Untuk omzet, sebelum pandemi perputaran uang per hari dalam komunitas Kampung Kue mampu mencapai Rp20 juta per hari. Namun, ketika pandemi hanya 10 persennya. Sekitar bulan Juli tahun 2021 ekonomi makin membaik, akhirnya di tahun 2022 ini Kampung Kue bisa bangkit kembali.
Mahpuduah menjelaskan, memang penghasilan setiap anggota berbeda-beda karena pengelolaannya diserahkan ke masing-masing individu. Akan tetapi, dengan banyaknya jumlah anggota, dan karakter bisnisnya ibu-ibu itu berbeda-beda, ada yang mempekerjakan karyawan bahkan ada juga yang masih memanfaatkan anggota keluarganya masing-masing untuk membantu membuat kue.

Kampung Kue sudah bisa mengekspor produknya ke Singapura.(Dok/kemenkopukm.go.id)
Produk kue yang dihasilkan komunitasnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu kue basah dan kue kering. Untuk kue basah ada dadar mawar, pisang coklat, dadar gulung, lumpur, pandan fla, puding, onde-onde, muffin, apem, terang bulan, pastel, risoles, pie susu, pie apel, pie susu keju, donat, dan masih banyak lainnya.
Sementara, produk kue kering terdiri dari almond crispy, kacang, dan cheese stick. Untuk harga, Kampung Kue mematok di kisaran Rp1.500–Rp4.500 untuk kue basah. Sementara, kue kering mulai dari Rp15.000 hingga Rp70.000. Hampir semua jenis kue diproduksi komunitas Kampung Kue, mulai dari kue basah hingga kue kering dan kini menjadi oleh-oleh khas Surabaya. Bukan hanya itu, Ada juga kue seperti almond crispy dijual hingga ke luar negeri seperti Singapura melalui Bank Indonesia.
Sebab, kue kering itu sifatnya tahan lama dibanding kue basah sehingga penjualannya bisa sampai ke luar negeri dan penjualannya hampir ke seluruh wilayah Indonesia, seperti ke Jakarta, Kalimantan, Bogor, Batam, Mataram, dan Bali. Tak hanya penjualan offline, komunitas Kampung Kue juga menjual berbagai produknya secara online, baik melalui media sosial seperti facebook, Instagram, dan WhatsApp. Anggota komunitas juga sudah mengikuti kelas-kelas digital marketing.
Siapa sangka Kampung Kue yang sekarang populer dan sukses melewati napas panjang dan menjelma sebagai UMKM andalan ibu-ibu anggota komunitas dalam meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan hidup.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar