Moestopo, Pejuang Sekaligus Dokter Gigi Indonesia

Prof DR Moestopo merupakan pahlawan nasional yang lahir di Kediri pada 13 Juni 1913 dan meninggal di Bandung pada tahun 1986. Ketika masa pendudukan Jepang, Moestopo mengikuti pelatihan PETA (Pembela Tanah Air) pada angkatan kedua. Pelatihan tentara PETA dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan, Moestopo diangkat menjadi Shudanco (Komandan Kompi) di Sidoarjo.
Kemampuan yang dimiliki Moestopo merupakan kemampuan yang melebihi seorang Shudanco, karena itu Moestopo kemudian diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalion). Moestopo kemudian ditempatkan di Gresik Jawa Timur. Pada 18 Agustus 1945 setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Jepang kemudian membubarkan kesatuan PETA.
BACA JUGA: Langkah Berani RIS Menjadi Anggota ILO
Kesatuan Prof DR Moestopo juga ikut dibubarkan dan senjata dari kesatuannya dilucuti. Beliau tidak tinggal diam setelah dibubarkan, kemudian membentuk sebuah kesatuan yang dipimpin langsung olehnya. Kesatuan tersebut bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur. Moestopo mengangkat dirinya sendiri sebagai Menteri Pertahanan At Interim Republik Indonesia. Beliau melakukan hal tersebut agar dapat berunding dengan Komandan Tentara Sekutu dan Pimpinan Militer Jepang. Tindakan Prof DR Moestopo tersebut sangat menguntungkan bagi Indonesia, karena kedaulatan Indonesia dapat tetap ditegakkan.

Dalam kapasitasnya sebagai tentara PETA, Moestopo ikut berjuang dalam pertempuran Surabaya.(Dok/ANRI)
Namun, Prof DR Moestopo meminta para pasukan untuk menunda peny ngan karena pada saat itu Jepang pasti akan membalas yang dpaat menyebabkan para pasukan meninggal. Kemudian beliau menemui Mayor Jenderal Iwabe dan meminta senjata tersebut secara baik-baik.
Pada saat tersebut Iwabe menolak karena ketika Iwabe menyerahkan senjata kepada Prof DR Moestopo maka Iwabe yang akan disalahkan oleh sekutu. Iwabe hanya dapat menyerahkan senjata kepada sekutu. Namun pada saat itu Moestopo menegaskan bahwa dirinya yang akan mempertanggungjawabkan kepada sekutu.
Akhirnya Iwabe bersedia menyerahkan senjatanya kepada Prof DR Moestopo. Beliau juga yang menghambat pendaratan pasukan Inggris di Surabaya dan menentangnya. Walauapun pada saat itu Soekarno sudah menyampaikan pesan agar pendaratan tersebut tidak dihalangi, namun Prof DR Moestopo tetap menghalanginya.
Prof DR Moestopo berdiri dalam mobil kap terbuka dan menyerukan kepada rakyat bahwa rakyat harus melawan Inggris. Kemudian sebelum pasukan Inggris mendarat, beliau berunding dengan komandan Inggris yakni Brigjen Mallaby. Inggris mendapatkan izin untuk menempati daerah pelabuhan.

Moestopo termasuk tokoh angkatan darat yang terlibat aktif dalam revolusi kemerdekaan.(Dok/ANRI)
Pada 27 Oktober setelah kesepakatan dicapai, Inggris menduduki beberapa gedung dan memasuki kota tanpa izin, oleh karenanya pada 28 dan 29 Oktober terjadi pertempuran. Inggris meminta bantuan kepada Soekarno agar menghentikan pertempuran tersebut. Prof DR Moestopo dan pasukannya berangkat ke Mojokerjo dan menyiapkan basis gerilya.
Prof DR Moestopo kemudian pergi ke tempat perundingan Soekarno dengan pihak inggris. Kemudian beliau dipensiunkan dan diangkat menjadi Penasihat Agung Republik Indonesia. Beliau juga diangkat menjadi Panglima Markas Besar Pertempuran Jawa Timur.
Pada tahun 1948 Prof DR Moestopo membawahi tiga KRU, satu di antaranya pasukan Siliwangi. Ketika PKI menyerang Madiun, Moestopo mengerahkan pasukan Siliwangi. Ketika terjadi Agresi Militer kedua Belanda, Moestopo bergabung dengan Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) Kolonel Nasution. Pada saat itu, ia diberikan tugas oleh Nasution untuk mengurusi kesehatan. Ketika perang kemerdekaan berakhir, Prof DR Moestopo diangkat menjadi Kepala Kesehatan Gigi Angkatan Darat.

Moestopo mendirikan universitas yang kini dikenal dengan nama Universitas Moestopo Beragama.(Dok/ANRI)
Masa perang akhirnya usai pada 1950. Moestopo pun turun gelanggang. Ia kembali menjadi dokter sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat di Jakarta, serta sering memberikan pelatihan kesehatan. Selain itu, ia juga sempat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Moestopo terjun pula ke ranah akademis. Setelah menuntaskan pendidikan di Amerika Serikat, ia menggagas berdirinya Dr. Moestopo Dental College pada 1958 yang kemudian berkembang menjadi perguruan tinggi pada 15 Februari 1961. Kampusnya diberi nama Universitas Prof. Dr. Moestopo, terletak di Jalan Hang Lekir, Jakarta Pusat.
Sang jenderal eksentrik ini mengabdikan sisa hidupnya untuk dunia pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Moestopo meninggal di Bandung tanggal 29 September 1986 dan beberapa tahun kemudian memperoleh gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya yang sering tak terduga itu.
Pada tanggal 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi Moestopo anugerah Pahlawan Nasional Indonesia yang bersamaan waktunya dengan Adnan Kapau Gani, Ida Anak Agung Gde Agung, dan Ignatius Slamet Riyadi berdasarkan Keppres No. 66/TK/2007. Pada tahun yang sama ia dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar