Memahami Candi Cetho Warisan Terakhir Kerajaan Majapahit

Candi Cetho tercatat sebagai salah satu candi tertinggi di Pulau Jawa. Bahkan candi ini menjadi salah satu candi yang bisa dilihat dari angkasa luar lewat citra satelit NASA. Hal ini tidak terlepas dari lokasi Candi Cetho yang berada di dataran tinggi bahkan berada di kawasan pebukitan.
Dilansir dari laman Kemendikbud, Candi Cetho dibangun sekitar tahun 1451-1470 pada masa Kerajaan Majapahit. Prabu Brawijaya disebut-sebut memiliki andil besar dalam pembangunan candi bernuansa Hindu tersebut. Bahkan masyarakat setempat percaya, bahwa Candi Cetho digunakan sebagai tempat semedi terakhir sang raja.
BACA JUGA: Air Terjun Madakaripura dan Misteri Moksa Gajah Mada
Sebagai bangunan dengan pengaruh Hindu yang kental, Candi Cetho memiliki ciri khas yakni pada arca yang dibuat dalam ukuran besar namun pemahatannya lebih sederhana. Contohnya arca Bima yang ada di teras pertama Candi Cetho. Selain itu, dari sisi arsitektur gaya bangunan pada masa Majapahit Hindu menyerupai punden berundak yang berkembang di Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna, Jawa Timur.

Candi Cetho dibangun pada masa Kerajaan Majapahit.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Nama Cetho, yang dalam bahasa Jawa berarti ‘jelas’, digunakan sebagai nama dusun tempat candi ini berada karena dari Dusun Cetho orang dapat dengan jelas melihat ke berbagai arah. Ke arah utara terlihat pemandangan Karanganyar dan Kota Solo dengan latar belakang Gunung Merbabu, Merapi, dan Gunung Sumbing. Ke arah barat dan timur terlihat bukit-bukit hijau membentang, sedangkan ke arah selatan terlihat punggung dan gugusan anak Gunung Lawu.
Boleh dikatakan bahwa Candi Cetho didirikan pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Pada masa itu Kerajaan Majapahit sedang mengalami proses keruntuhan dengan memuncaknya kekacauan sosial, politik, budaya dan bahkan tata keagamaan sebelum akhirnya mengalami keruntuhan total pada tahun 1519 Masehi.
Menurut Bernet Kempers dalam Ancient Indonesian Art Candi Cetho sejak awal didirikan merupakan situs suci yang berhubungan dengan penghormatan arwah-arwah leluhur yang pada paruh pertama abad XV diubah menjadi sebuah monumen yang mengandung unsur-unsur dari kebudayaan Hindu-Jawa dengan karakter lokal dengan sarana pembebasan arwah leluhur dari semua ikatan duniawi.

Candi Cetho dibangun sebagai tempat peribadatan dan peristirahatan Raja Brawijaya.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Candi Cetho pertama kali dilaporkan Van De Vlis pada tahun 1451-1470. Penemuan ini menarik perhatian sejumlah ahli purbakala karena unsur nilai kepurbakalaannya, seperti W.F. Sutterheim, K.C. Crucq, N.j. Krom, A.J. Bernet Kempers, dan Riboet Dharmosoetopo. Pada tahun 1928 Dinas Purbakala Belanda mengadakan penelitian dalam rangka pemugaran, dari penelitian ini tidak diperoleh cukup bukti untuk merekonstruksi bangunan batu yang berada di puncak bukit.
Masih berdasarkan penelitian Van De Vlis maupun A.J. Bernet Kempres, Candi Cetho terdiri atas 14 teras. Namun kenyataannya yang ada sekarang hanya terdiri dari tiga belas teras yang tersusun dari barat ke timur dengan pola susunan makin ke belakang makin tinggi dan dianggap paling suci.
Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sejumlah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian. Pada teras terakhir terdapat candi induk. Di sisi timur teras paling bawah terdapat gapura yang merupakan pintu gerbang Candi Cetho. Di depan gapura terdapat arca batu yang oleh penduduk sekitar disebut Arca Nyai Gemang Arum.

Candi Cetho memiliki 11 teras dengan fungsi dan maknanya masing-masing.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Berikut tingkatan teras Candi Cetho lengkap dengan fungsi dan kegunaannya:
Teras ke-1
Di sisi selatan teras pertama terdapat bangunan tanpa dinding yang berdiri pondasi setinggi kurang lebih 2 m. Di dalam bangunan terdapat susunan batu yang tampaknya sering digunakan untuk meletakkan sesajian.
Di ujung barat jalan setapak yang melintasi halaman teras pertama, terdapat gapura batu dengan tangga batu. Tangga menuju teras berikutnya ini diapit oleh sepasang arca Nyai Agni. Salah satu dari kedua arca ini masih terlihat utuh.

Teras ke-2 Candi Cetho terdapat susunan batu seperti Garuda.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Teras ke-2
Pada halaman teras ke-2 terdapat susunan batu yang terhampar di halaman, membentuk gambar seekor garuda terbang dengan sayap membentang. Di bagian punggung garuda terdapat susunan batu yang menggambarkan seekor kura-kura. Tepat di atas kepala garuda terdapat susunan batu berbentuk matahari bersinar, segitiga sama kaki dan Kalacakra (kelamin laki-laki). Di ujung masing-masing sayap garuda terdapat dua bentuk matahari lain.
Garuda adalah burung kendaraan Wisnu yang yang melambangkan dunia atas, sedangkan kura-kura yang merupakan titisan Wisnu merupakan simbol dunia bawah. Kura-kura dianggap sebagai binatang sakti yang mampu menyelami samudera untuk mendapatkan air kehidupan (tirta amerta). Adanya kalacakra di halaman ini yang menyebabkan Situs Candi Cetho disebut sebagai candi ‘lanang’ (lelaki).
Matahari bersinar 7 (tujuh) melambangkan Sang Surya yang diyakini sebagai sumber kekuatan kehidupan. Segitiga sama kaki melambangkan pedoman bagi dunia yang sedang tenggelam kedalam lautan kegelapan. Di tengah segi tiga sama kaki terdapat lingkaran yang memuat tiga ekor katak, masing-masing menghadap ke sudut yang berbeda.

Matahari bersinar 7 (tujuh) melambangkan Sang Surya yang diyakini sebagai sumber kekuatan kehidupan.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Teras ke-3
Teras ke-3 merupakan halaman yang tidak terlalu luas. Seperti yang terdapat di teras sebelumnya, di sisi barat teras ini juga terdapat sepasang ruangan yang mengapit jalan menuju tangga ke teras yang lebih atas. Di dalam ruangan terdapat susunan batu membentuk segi empat membujur dari utara ke selatan. Pada dinding susunan batu tampak relief bergambar manusia dan binatang. Relief tersebut merupakan cuplikan dari Kidung Sudamala. Relief dengan tema Kidung Sudamala juga terdapat di Candi Sukuh. Relief ini yang menguatkan dugaan bahwa Candi Cetho dibangun untuk tujuan ‘ruwatan’. Tangga menuju teras berikutnya terbuat dari batu andesit yang sangat rapi susunannya, dibuat bertingkat dengan jeda (landing) yang cukup lebar di setiap tingkat. Tebing di kiri dan kanan tangga disangga oleh turap batu bersusun. Tidak diperoleh informasi apakah tangga ini merupakan hasil pemugaran yang pernah dilakukan sebelumnya atau merupakan tangga yang asli.
Teras ke-4
Di sisi dalam (barat) teras ke-4 terdapat sepasang arca Bima yang menjaga sebuah tangga batu menuju teras ke-5.

Setiap teras menunjukkan bahwa makin tinggi kian suci bangunannya.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Teras ke-5
Pada teras ke-5 terdapat sepasang bangunan beratap, yang disebut pendapa luar. Bangunan tanpa dinding tersebut mengapit jalan menuju tangga ke teras ke-6.
Teras ke-6
Pada sisi barat teras ke-6 terdapat sebuah arca Kalacakra dan sepasang arca Ganesha yang berada di depan kaki tangga yang menuju ke teras ke-7. Tangga menuju teras ke-7 ini dibuat bertingkat 3. Tebing di kiri dan kanan tangga diperkuat dengan turap batu. Di puncak tangga terdapat gapura yang merupakan pintu masuk ke teras ke-7.
Teras ke-7
Teras ke-7 merupakan sebuah halaman yang dikelilingi oleh dinding batu. Pada teras ini juga terdapat sepasang pendapa beratap tanpa dinding yang disebut Pendapa Dalam. Di sisi barat Pendapa Dalam terdapat tangga menuju ke teras berikutnya.

Teras dalam Candi Cetho dari bawah menuju puncak.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Teras ke-8
Pada teras ke-8 terdapat sebuah ruangan yang digunakan untuk bersembahyang. Di depan pintu ruangan terdapat dua buah arca batu dengan tulisan Jawa yang menunjukkan tahun dibangunnya Candi Cetho. Di sisi barat, tepatnya di belakang ruangan terdapat tangga menuju teras ke-9.
Teras ke-9
Di kiri dan kanan sisi barat teras ke-9 terdapat ruangan yang menghadap ke timur. Kedua ruangan tersebut berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda kuno. Di sisi timur, berseberangan dengan masing-masing ruang penyimpanan tersebut terdapat dua bangunan. Bangunan di sisi utara berisi arca Sabdapalon dan bangunan di sisi selatan berisi arca Nayagenggong. Keduanya merupakan tokoh punakawan (pengasuh sekaligus penasehat kerajaan) pada masa itu. Sisi barat teras ke-9 dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura masuk ke sebuah lorong tangga batu menuju ke sebuah ruangan di teras ke-10.

Pada teras ke-10 terdapat arca lingga dan yoni.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Teras ke-10
Pada teras ini terdapat sebuah ruangan yang masing-masing sisinya terdapat tiga buah bangunan kayu yang saling berhadapan. Dalam masing-masing bangunan terdapat sebuah arca. Salah satu di antara deretan arca yang terletak di deretan utara adalah arca Prabu Brawijaya. Di deretan selatan, lagi-lagi, terdapat arca Kalacakra. Ujung barat deretan selatan merupakan tempat penyimpanan pusaka Empu Supa. Empu Supa adalah seorang empu (pembuat senjata pusaka) yang terkenal dan dihormati pada masa hidupnya. Sisi barat teras kesepuluh dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura masuk ke sebuah lorong tangga batu menuju ke teras ke-11.
Teras ke-11
Pada teras ini, yaitu di puncak lorong terdapat sebuah dinding batu setinggi sekitar 1,60 meter yang menyekat tangga dengan ruang utama, berupa bangunan tanpa atap, dikelilingi dinding batu setinggi hampir 2 m, dengan luas sekitar 5 meter persegi. Ruang utama yang merupakan pesanggrahan Prabu Brawijaya ini letaknya lebih tinggi dari semua ruang lain, sehingga dari tempat ini dapat dilihat dengan jelas ruang-ruang di bawahnya.(Kemendikbud, 2007).

Semakin tinggi terasnya makin tinggi pula kesuciannya.(Cagar Budaya, Kemendikbud)
Bentuk seni bangunan Candi Cetho mempunyai kesamaan dengan Candi Sukuh, yaitu dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak masa prasejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak ditemukan pada kompleks candi lain di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh.
Pada Candi Cetho banyak dijumpai arca-arca yang mempunyai ciri-ciri masa prasejarah, misalnya arca digambarkan dalam bentuk sederhana, kedua tangan diletakkan di depan perut atau dada. Sikap arca semacam ini menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana di daerah Bada, Sulawesi Tengah.
Secara garis besar, kompleks Candi Cetho melingkupi luas lahan sekitar 6907,34 meter persegi. Lebih rinci lagi, luas struktur lama sekira 548,51 meter, sedangkan luas bangunan baru sebesar 490,62 meter persegi dan luas struktur bagu yakni 1159,59 meter persegi.
Pada tahun 1975-1976, Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang), Sudjono Hoemardhani melakukan pemugaran situs menjadi seperti yang terlihat sekarang ini. Sangat disayangkan bahwa pemugaran atau lebih tepatnya disebut pembangunan kembali tersebut dilakukan tanpa memperhatikan aspek arkeologis, sehingga keaslian bentuknya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar