Hamid Algadri, Keturunan Arab yang Berjuang untuk Indonesia

Komunitas Arab di Indonesia sejak zaman dulu menempatkan kaumnya bukanlah golongan yang eksklusif atau masa bodoh dengan situasi bangsa dan negara. Ada beberapa nama yang terlibat langsung dalam perjuangan dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Salah satu tokoh yang menonjol yakni Hamid Algadri.
Hamid Algadri lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 10 Juli 1912. Ia termasuk tokoh keturunan Arab yang berjasa untuk Indonesia. Semasa hidupnya, Hamid Algadri aktif mengikuti perundingan guna kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya itu, ia juga menjadi utusan Indonesia untuk kepentingan diplomatik di negara-negara Arab dan Afrika. Dari garis keturunan orang tuanya, ayah Hamid seorang Arab sedangan ibunya berdarah Malabar, India.
BACA JUGA: Ario Soerjo, Tokoh Penting Pertempuran 10 November yang Terlupakan
Ayah Hamid Algadri merupakan seorang kapiten. Di tengah kebiasaan orang-orang Arab yang menyekolahkan anaknya di madrasah tidak berlaku bagi orang tua Hamid. Dalam bukunya yang berjudul Mengarungi Indonesia Memoar Perintis Kemerdekaan, Hamid menulis sang ayah mengirimnya sekolah di sekolah Belanda. Perjuangan masuk sekolah Belanda bukannya tanpa tantangan. Pihak sekolah sempat menolak tapi berkat kakeknya, Hamid Algadri diterima.

Hamid Algadri aktif dalam Persatuan Arab Indonesia(PAI).(Dok/wiki comons)
Hamid Algadri memasuki sekolah Eerste Europhesche Lagere Scholl(ELS). Delapan tahun mengenyam pendidikan di ELS, ia melanjutkan sekolah ke MULO(Mer Uitgebreid Lager Onderwijs) Praban, Surabaya. Tiga tahun di MULO, Hamid melanjutkan sekolahnya di Yogyakarta dengan memasuki AMS(Algemene Middelbare School) sebuah sekolah khusus untuk belajar bahasa asing seperti Prancis, Latin, Jerman dan Inggris. Tamat dari AMS, orang tua Hamid mendorongnya untuk lanjut ke Batavia.
Di Batavia Hamid Algadri masuk ke Rechts Hoege School(RHS) atau Pendidikan Tinggi Hukum. Dengan status sebagai mahasiswa hukum, Hamid Algadri tercatat sebagai satu-satunya keturunan Arab waktu yang mengenyam pendidikan universitas. Lulus dari RHS, Hamid Algadri memperoleh gelar Meester in de Rechten atau MR. Sejak saat itu namanya menjadi MR. Hamid Algadri.
Dinukil dari bukunya, Hamid Algadri mengungkapkan meski dirinya mengenyam pendidikan barat namun ia tidak pernah mengabaikan ilmu agama. Walaupun mengenyam pendidikan umum, Hamid Algadri berada di dalam keluarga yang memegang erat ilmu agama. Saat masih sekolah, orangtua Hamid Algadri bahkan mendatangkan guru agama guna mengisi kekosongan ilmu agama di sekolah umumnya. Sekolah madrasah ini dilakukan Beliau sepulang dari sekolah Belanda.

Hamid Algadri memiliki kedekatan dengan Perdana Menteri kala itu, Sutan Sjahrir.(Dok/30 Tahun Indonesia Merdeka)
Perjuangan Hamid Algadri tak sebatas saat akan merdeka saja, melainkan juga berjuang saat pra-kemerdekaan, kemerdekaan serta pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, Hamid Algadri fokus bergabung dalam organisasi, diantaranya PAI (Persatuan Arab Indonesia). Perannya saat itu adalah menyatukan golongan Arab demi persatuan Indonesia.
Saat kemerdekaan, Hamid Algadri dan adiknya, Ali Algadri berada di Pasuruan dan ikut mengumumkan kemerdekaan Indonesia di tanah Pasuruan. Tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) untuk mengibarkan Sang Merah Putih di Pasuruan. Tepat bersamaan hal tersebut, Hamid Algadri diangkat sebagai Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah kemerdekaan, Hamid Algadri masuk dalam BP-KNIP, Pegawai Tinggi Kementerian Luar Negeri, Pegawai Tinggi Sekertariat Perdana Menteri, Sekertaris Menteri Penerangan, Anggota DPR-RIS, sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair. Tak hanya itu, Hamid Algadri juga turut dalam perjajian Linggarjati, Renville dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Hamid Algadri, Soebadia Sastrosatomo dan Soedarpo sering disebut sebagai de jongens van Sjahrir atau anak-anak Sjahrir lantaran kedekatan mereka dengan Perdana Mentri Sjahrir pada masa-masa awal kemerdekaan.

Disamping berjuang lewat meja perundingan, Hamid Algadri juga menulis beberapa buku.(Dok/wiki commons)
Hamid Algadri tak hanya berjuang dalam diskusi-diskusi kepolitikan atau hanya berkutat dengan perjanjian damai. Ia juga kerap menulisi di majalah Aliran Baroe dan Insjaf dengan topik yang tak jauh-jauh dari hukum dan situasi Indonesia.
Tak hanya artikel, ia juga menerbitkan 4 buku di antaranya “C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab”, “Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda”, “Suka Duka Masa Revolusi” dan “ Mengarungi Indonesia Memoar Perintis Kemerdekaan”.
Kakek dari Nadiem Makarim ini menikah dengan Zena binti Husein Alatas. Usia mereka terpaut cukup jauh, yaitu 32 tahun dan 18 tahun. Akad nikah diselenggarakan di Jakarta, tempat tinggal mempelai perempuan dan resepsi dilakukan di Pasuruan, tempat tinggal Hamid Algadri. Ia meninggal di Jakarta 25 Januari 1998 pada usia 85 tahun.
Jasa dan perjuangannya kini dikenang sebagai salah satu sumbangsih terbesar keturunan Arab sekaligus membuktikan bahwa golongan Arab memiliki andil dan tanggung jawab yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar