Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, Upaya Orde Baru Putar Sejarah?

Memperingati tragedi berdarah yang terjadi akhir September 1965, lagi-lagi ditandai dengan pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Meski tak semasif tahun-tahun sebelumnya, namun pemutaran film propaganda Orde Baru itu menggunakan saluran publik, televisi.
Setelah sempat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menghentikan tayang pada tahun 1998, film garapan Arifin C Noer itu kembali lagi hadir di tengah masyarakat. Sebelum dihentikan, berpuluhan tahun lamanya, tiap tanggal 30 September, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar di TVRI serta mewajibkan anak-anak sekolah menonton dan membuat resensi.
Di benak seluruh anak sekolah, juga lebih luas masyarakat Indonesia, pada masa Orde Baru melalui film itu, hanya ditawarkan satu narasi sejarah mengenai peristiwa 1965 dan pengultusan terhadap sosok Soeharto.
Memang tak mengherankan hal itu terjadi, sebab pemerintah Orde Baru begitu antusias ingin membuat megaproyek film tentang peristiwa 1965. Biaya sebesar Rp800 juta disiapkan agar film kolosal tersebut lahir. Tak tanggung-tanggung, para sejarawan plat merah pun diajak untuk menjadi periset.
BACA JUGA: Siapa Korban G30S?
Cerita film disandarkan atas penelitian sejarawan Universitas Indonesia Nugroho Notosusanto bersama Amrin Imran, Rokhmani Santoso, Sutopo, dan Suranto Sutanto, dengan narasi tunggal: menuding PKI sebagai dalang utama peristiwa memilukan tersebut.
Padahal sejarah tentang peristiwa G30S telah banyak disajikan beragam sudut pandang baik melalui buku, disertasi, tesis, jurnal, dan artikel-artikel di media massa. Namun, sebagai pemprakarsa, Orde Baru tentu memilih narasi sejarah paling menguntungkan sang pemimpin, Soeharto.
Sebelum beredar di masyarakat, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI terlebih dahulu dibawa Gufron Dwipayana, Direktur Pusat Produksi Perfilman Negara (PPFN) kepada Presiden Soeharto.
The Smilling General meminta agar film itu diputar pada saat sidang kabinet. Pada akhir pemutaran, Soeharto tesenyum lebar tanda puas dan menyampaikan kegembiraan itu di depan kabinet.
Gufron Dwipayana, menurut Katinka van Heeren dalam Contemporary Indonesian Film: Spirits of Freedom and Ghosts From The Past, sangat setuju dengan saran Soeharto agar film itu ditonton para pejabat dan angkatan bersenjata juga generasi muda tahun 1984. “Generasi ini, saat G30S/PKI meletus masih bayi, sehingga perlu memahami kejadian saat itu,” kata Gufron Dwipayana dikutip van Heeren.
Tak hanya pada proses pembuatan, pemerintah pun mencari cara terbaik agar film tersebut terdistribusikan dengan tepat kepada masyarakat. Tidak seperti film-film pada umumnya, PPFN menggunakan jalur nonkomersial atau nonbioskop untuk mendistribusikan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
“Mereka tidak ingin mengambil risiko kegagalan dengan memakai jalur komersial,” tulis Krishna Sen dan David T. Hill dalam Media, Culture and Politics in Indonesia.
Sebagai jalan lain, menurut T Hill, pemerintah mengharuskan siswa-siswi SD, SMP, SMA, dan pegawai negeri sipil menonton film tersebut setiap tanggal 30 September.
BACA JUGA: Petualangan Batalyon 454 Banteng Raider Ketika Peristiwa 1965
Sejak reformasi bergulir, keterbukaan akan akses informasi mengenai peristiwa 1965 menjadi mudah diakses. Masyarakat akhirnya bisa menikmati informasi berimbang tentang sejarah berdarah tersebut.
Tak heran jika Menteri Penerangan Yunus Yosfiah tidak lagi mewajibkan film itu diputar di sekolah dan kantor-kantor pemerintahan lantaran terdapat pengultusan tokoh.
Menurutnya, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
“Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI,” ujar Yunus seperti dikutip Harian Kompas 24 September 1998.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar