Emma Poeradiredja, Pejuang Perempuan Tiga Zaman dari Jawa Barat

Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak sedikit perempuan dari Jawa Barat yang terlibat langsung menginspirasi dan memotivasi kaumnya untuk ikut melawan penjajahan. Salah satu tokoh perempuan Jawa Barat yang layak masuk dalam catatan sejarah yakni Emma Poeradiredja. Emma, demikian sapaannya mulai terlibat dalam Sumpah Pemuda dan dikenal sebagai sosok perempuan yang vokal.
Emma menjadi wakil golongan perempuan yang menyuarakan perjuangan kaumnya dan aktif dalam pelbagai organisasi perlawanan. Perempuan kelahiran Cilimus, Kuningan, Jawa Barat, 13 Agustus 1902 ini diperhitungkan dalam merangkul para perempuan agar tetap berdikari dalam membela Indonesia. Ia adalah puteri pertama dari Raden Kardata Poeradiredja dan Siti Djariyah. Emma adalah satu-satunya putri dari empat bersaudara.
BACA JUGA: KH Abdul Ghafar Ismail, Ulama Pejuang dan Macan Mimbar Syiar Islam
Dihimpun dari berbagai sumber, Emma Poeradiredja memiliki latar belakang keluarga menak Sunda atau bangsawan, Emma sejak remaja memang diuntungkan dalam mendapatkan akses pendidikan yang cukup memadai untuk menyurakan upaya pergerakan kaum muda di Jawa Barat. Ia memperoleh pendidikan yang kala itu sulit didapati golongan bumiputera.

Emma Poeradiredja aktif terlibat dalam Kongres Pemuda I dan II.(Dok/Sumpah Pemuda)
Usai lulus dari Hollandch Inlandsche School(HIS) di Tasikmalaya pada 1910-1917, Emma melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitegebreid Lager Onderwijs(MULO) di Kota Bandung tahun 1917 sampai 1921. Selama bersekolah di MULO, dirinya aktif bergabung ke dalam beberapa perkumpulan seperti Jong Java dan Jong Islaminten Bond sebagai ketua cabang di wilayah Bandung.
Selain itu, Emma juga merupakan salah satu tokoh yang menginisiasi pembentukan Dameskring (1926) bersama Artini Djojopuspito, Sumardjo, Ayati, Emma Sumanegara, Suhara, Kasiah, Kartimi, dan Rusiah.
Dameskring merupakan perkumpulan perempuan dan terdiri dari perempuan terpelajar serta beragam suku bangsa dari seluruh wilayah Indonesia. Dalam organisasi tersebut, Emma tampil sebagai sosok yang vokal dan banyak memberikan kontribusi positif bagi pergerakan kaum perempuan.
Rekam jejak aktivisnya yang terkenal aktif itu, lantas menghantarkan Emma untuk memberikan aspirasinya di Kongres Pemuda I dan II.
Dalam kongres tersebut, dirinya berupaya mengangkat kaum perempuan bahwa perempuan merupakan sosok yang perlu berjuang untuk kemajuan bangsa dan negara. Setelah kongres Pemuda, Emma juga aktif melatih para perempuan untuk menyebarkan gagasan persatuan Indonesia menjadi salah satu tekad Sumpah Pemuda.

Emma Poeradiredja menempuh pendidikan yang bagus pada masanya.(Dok/Keluarga Poeradiredja)
Empat tahun berselang, perjuangan Emma terus digaungkan. Ia mendirikan Pasundan Istri (PASI) dengan dilanjutkan menjadi ketua Kongres Wanita ke-3 di Bandung pada 8 tahun setelahnya.
Pada tahun 1938 ia terpilih sebagai wanita pertama yang menjadi Anggota Dewan Kota Bandung. Kemudian tahun 1939 memimpin organisasi Pasundan Istri (PASI). Pada tahun itu juga, Emma juga berperan sebagai penggagas undang-undang perkawinan untuk melindungi kaum wanita.
Bahkan di masa pasca kemerdekaan, dirinya pernah ditangkap oleh tentara Belanda di kediaman Ir. Djuanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Belanda II) tahun 1948. Hal ini terjadi karena ia menolak kembali ke Bandung untuk dipekerjakan di Hoofaburean Staats Spoorwegen (Kantor Kereta Api Belanda).
Sebelumnya, ia merupakan pegawai setia di kantor pusat Balai Besar Jawatan Kereta Api milik Indonesia di Bandung. Karena Belanda menduduki Bandung, dirinya diungsikan ke Garut, Gombong hingga Yogyakarta.

Emma Poeradiredja dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.(Dok/Keluarga)
Dilansir dari Antara, pada tahun 2017 lalu Emma menjadi salah satu tokoh yang rekam jejaknya dipublikasikan di Museum Sumpah Pemuda. Ini dikarenakan Emma punya teladan kuat karena berjuang di tiga zaman (Penjajahan Belanda, Jepang dan Pasca Kemerdekaan) dengan merangkul kaum perempuan muda untuk ikut berjuang menumpas penjajahan Belanda.
Emma jatuh sakit saat menghadiri acara Kongres IWKA di Yogyakarta, dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan wafat pada 19 April 1976. Jenazah Emma dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.
Emma Poeradiredja menjelma dari menak Sunda menjadi tokoh kerakyatan yang menyatu dengan nasib perempuan Indonesia yang ikut berjuang dan mempertahankan kemerdekaan.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar