Douwes Dekker, Pejuang Indonesia Berdarah Kolonial Belanda

Punya darah Belanda tak menghilangkan rasa cinta seorang Douwes Dekker terhadap Indonesia. Lelaki yang memiliki nama lengkap Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker merupakan pahlawan nasional Indonesia yang turut membantu memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah.
Douwes Dekker lahir dari pasangan Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, pekerja agen di bank ternama Nederlandsch Indisch Escomptobank dan Louise Bousquet. Ayahnya adalah seorang Belanda. Sementara, ibunya lahir di Pekalongan, Jawa Tengah dari pasangan Jerman-Jawa.
Sejak dulu, Danudirja Setiabudi nama lain dari Douwes Dekker tak suka dengan sistem kasta yang diterapkan pemerintah kolonial.
BACA JUGA: Komarudin, Pejuang Indonesia Asal Korea Selatan
Dalam buku Dr E.F.E. Doues Dekker: Dr Danudirdjo Setia Budi karya Margono Djojohadikusumo, Douwes Dekker sempat mempertanyakan istilah Inlander untuk bangsa pribumi.
“Perhatikan ‘I’ dari Inlander ditulis dengan huruf besar, itu hendak menyatakan bahwa seharusnya akan ada benua atau negeri bernama Inland. Dapatkah kalian menunjukkan kepada saya negeri itu di peta dunia?” kata Douwes Dekker.
Bekerja, Menentang, Dipecat
Douwes Dekker berasal dari keluarga yang “berada”. Ia sempat mengenyam pendidikan di sekolah elite Gymnasium Koning Willem III School (HBS KW III) di Salemba.
Setelah lulus, Nes, panggilan akrab dari Bung Karno, bekerja sebagai pegawai kolonial di perkebunan kopi ‘Soember Doeren’ di Malang, Jawa Timur. Di sana gajinya lumayan besar yang seharusnya membuat hidup Nes nyaman.
Namun, ia tak tega melihat perlakuan kejam yang dialami pekerja kebun. Sering kali ia membela mereka. Sikapnya itu membuat Douwes Dekker tak disukai oleh rekan kerjanya.
Ia bahkan sempat terlibat konflik dengan para manajemen yang membuatnya pindah pekerjaan ke perkebunan tebu ‘Padjarakan’ di Kraksaan sebagai laboran.
Sayangnya, lagi-lagi Nes bersiteru dengan manajemen karena pembagian irigasi yang dinilai tak adil untuk para petani.
Akibatnya ia dipecat. Statusnya sebagai pengangguran membuat sang ibu sakit dan akhirnya meninggal. Douwes Dekker pun depresi.
Pergi ke Afrika Selatan
Ia kemudian mendapat tawaran dari pemerintah kolonial Belanda untuk berperang melawan Inggris di Afrika Selatan tahun 1899.
Nes bahkan sempat menjadi warga negara Republik Transvaal. Karena hal itu kedua saudara lelakinya, Julius dan Guido menyusul.
Nes juga sempat dipenjara di sana yang membuatnya bertemu dengan sastrawan India. Banyak ilmu yang dia dapat selama pertemuan. Sehingga perlahan pemikirannya terbuka atas perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi.
Pada tahun 1902, ia kembali ke Hindia Belanda dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM. Karena keahliannya menulis laporan peperangan, Nes kemudian ditawari pekerjaan lain sebagai wartawan koran Semarang, De Locomotief. Dari sinilah petualangan Nes untuk menentang pemerintahan kolonial semakin terlihat.
Kritik Tajam untuk Kolonial
Tugas jurnalistiknya di beberapa daerah membuat ia mulai mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia semakin menjadi-jadi setelah menjabat sebagai staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1907.
Salah satu tulisan yang membuat geram pemerintah pada saat itu adalah “Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang artinya “Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan koloni-koloninya”.
Selain terkenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam, Nes sengaja menjadikan rumahnya yang terletak di Kwitang, Batavia sebagai tempat nongkrong murid-murid School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Jawa.
Dari sana juga organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, Budi Oetomo (BO) berdiri.
Mendirikan Indische Partij
Berdirinya Budi Oetomo ternyata tak membuatnya puas. Ia merasa BO hanya terbatas pada budaya Jawa. Nes kemudian berkonsultasi dengan organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde.
Ia menyampaikan sebuah gagasan suatu “Indië” (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan orang pendatang.
Sayangnya, gagasan itu kurang disambut baik. Banyak kaum Indo yang lebih suka dengan status quo. Meskipun Indo direndahkan kelompok Eropa. Namun, mereka tetap dihormati dan dilayani pribumi.
Ia kemudian mendirikan partai berhaluan nasionalis sendiri Indische Partij (Partai Hindia) bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat tahun 1912.
Ia kemudian melakukan kampanye di berbagai kota hingga menghasilkan anggota sekitar 5000 orang. Partai ini disukai oleh kalangan Indo dan diterima oleh kelompok Tionghoa.
Partai yang memiliki tujuan akhir kemerdekaan bagi Hindia Belanda ini akhirnya dibubarkan tahun 1913 oleh pemerintah kolonial karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Perjuangan Hingga Akhir Hayat
Perjalanan Douwes Dekker dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sangat panjang. Ia sempat beberapa kali diasingkan karena dianggap membelot dan memberontak.
Salah satu yang dirasakan paling sengsara Douwes Dekker adalah ketika dibuang di Suriname tahun 1941. Di sana ia ditempatkan di pedalaman Sungai Suriname bernama Jodensavanne (Padang Yahudi).
Saat itu, usia Douwes Dekker 60 tahun dan sempat kehilangan kemampuan melihat. Ia sering berkirim surat ke keluarganya. Namun, surat-surat tersebut harus melewati sensor terlebih dahulu.
Menjelang tahun 1946 ia baru bisa keluar dari pengasingan dan kembali ke Indonesia.
Ia sempat menjabat sebagai menteri di Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja selama 9 bulan. Nes juga pernah menjadi pengajar di Akademi Ilmu Politik, delegasi negosiasi dengan Belanda dan Kepala Seksi Penulisan Sejaran (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan.
Douwes Dekker wafat pada tanggal 28 Agustus 1950. Saat itu, usianya sudah 70 tahun. Pahlawan nasional ini dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra, Bandung.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar