Djaduk Ferianto, Penjelajah Nusantara Lewat Bunyi

Gregorius Djaduk Ferianto yang lebih populer dengan nama Djaduk Ferianto ini adalah seorang aktor dan seniman musik Indonesia.
Seniman bernama lengkap Gregorius Djaduk Ferianto ini lahir di Yogyakarta tanggal 19 Juli 1964 dari pasangan maestro tari Bagong Kussudiardja dan Soetiana. Besar di lingkungan seni, jalan hidup Djaduk pun tidak jauh-jauh dari apa yang juga dilakoni ayah dan kakaknya, yakni berkesenian.
BACA JUGA: Nasi Gandul, Santapan Berkuah nan Gurih
Ayah Djaduk Ferianto, Bagong Kussudiardja, adalah seniman tari legendaris Indonesia yang juga piawai melukis serta bermain seni peran. Sedangkan sang kakak, Butet Kertaradjasa, selama ini dikenal sebagai sosok seniman peran ternama tanah air yang kondang lewat aksi monolognya dan kerap muncul di layar kaca.

Djaduk Ferianto menginisiasi berdirinya musik etnik yakni Kua Etnika dan Sinten Remen.
(Twitter @DjadukFerianto)
Djaduk awalnya diberi nama Guritno oleh sang paman, namun nama itu hanya bertahan sampai ia berusia 10 tahun. Karena ia kerap jatuh sakit, ayahnya mengganti nama Guritno menjadi Djaduk yang artinya unggul.
Sejak kecil, Djaduk menyukai pertunjukan dan cerita pewayangan, bahkan pernah bercita-cita dan sempat belajar menjadi dalang wayang kulit. Ia kemudian mengalihkan fokusnya ke ranah musik.
Sejak umur delapan tahun, Djaduk sudah aktif menari di Pusat Latihan Tari milik ayahnya. Anak bungsu dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis senior Indonesia, dan adik dari monolog kawakan Butet Kertaradjasa, terbilang beruntung karena lahir dan tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung kariernya terlebih di bidang seni musik dan teater.
Djaduk banyak belajar soal musik dan film dari dua tokoh perfilman legendaris, Teguh Karya dan Arifin C. Noer. Selain itu, ia secara khusus pergi ke Jepang untuk mempelajari teknik olah pernapasan dalam memainkan alat musik tiup.
Ilmunya di bidang musik pun semakin bertambah saat ia belajar musik di New York.
Sepanjang perjalanan karirnya, ayah lima anak ini sempat mengalami diskriminasi, salah satunya adalah pembedaan antara lokal dan nasional. Djaduk baru bisa masuk industri musik nasional di tahun 1996. Meskipun frekuensi tampil di ibukota sangat tinggi, Djaduk memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta.

Kua Etnika menjadi warisan musik Djaduk Ferianto yang masih eksis hingga kini.
(Twitter @DjadukFerianto)
Bersama Butet Kertaradjasa dan rekan sesama seniman, Purwanto, Djaduk Ferianto membentuk kelompok kesenian Kua Etnika pada 1995 yang mengembangkan musik etnik kontemporer.
Tahun 2002, Djaduk membentuk satu kelompok lagi bernama Sinten Remen untuk mewadahi pengembangan musik dangdut/keroncong kontemporer, yang dirasa kurang pas jika digawangi Kua Etnika. Djaduk juga menekuni dunia seni peran. Bersama Butet, ia bergabung dengan Teater Gandrik yang berdiri sejak 1983 dan dirintis oleh beberapa seniman peran Yogyakarta termasuk Heru Kesawa Murti, Jujuk Prabowo, Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto, dan lainnya.
Dengan sederet karya dan prestasinya, Djaduk rupanya masih menyimpan bakat lain yakni berakting. Debutnya sebagai aktor ditandai dengan keterlibatannya sebagai salah satu pemeran pendukung dalam film. Kua Etnika dan Sinten Remen adalah dua karya legendaris Djaduk yang menyapa masyarakat hingga kini.
Seperti kebanyakan seniman asal Yogyakarta lainnya, Djaduk tetap mempertahankan “kelokalannya” kendati ia memperoleh banyak job di Jakarta atau daerah-daerah lain, bahkan sering diundang tampil ke luar negeri. Djaduk, juga Butet, tetap bertahan sebagai “orang lokal”, tidak menetap di Jakarta.
Djaduk Ferianto meninggal di Jogjakarta, Rabu 13 November 2019. Seniman yang juga sering mengisi kolom di media massa nasional ini meninggal di usia 55 tahun akibat serangan jantung.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar