Cerita Polisi Muda, Penemu Sumur Lubang Buaya

1 Oct 2019
  • BAGIKAN
  • line
Cerita Polisi Muda, Penemu Sumur Lubang Buaya

Suasana penuh ketegangan terjadi di kalangan militer pada 1 Oktober 1965. Mereka telah mendapat kabar penculikan para jenderal aktif Angkatan Darat (AD), namun belum bisa memastikan lokasi penyekapan.

Pada masa kritis penuh ketidakpastiaan itu, tiba-tiba titik cerah datang dari seorang polisi muda. Sukitman, Agen Polisi Tingkat II, secara meyakinkan menunjuk lokasi di daerah timur Jakarta, tepatnya desa Lubang Buaya, Pondok Gede, sebagai tempat para penculik menyekap dan menyiksa para jenderal. Mengapa bisa tahu?

Pada dini hari, saat penculikan berlangsung, Sukitman sedang patroli di sekitar Wisma Auri Jalan Iskandarsyah, Jakarta Pusat. Ia bersama seorang rekannya bertugas menjaga keamanan tamu negara di penginapan itu. Tak jauh dari rumah Jenderal Donald Icazus (DI) Panjaitan.

Tiba-tiba, suara tembakan memecah keheningan malam pos jaganya. Ia tergugah untuk mengetahui sumber tembakan tersebut.

BACA JUGA: Siapa Korban G30S?

Polisi muda berusia 22 tahun itu langsung menunggang sepedanya seorang diri menuju lokasi. Belum sempat melihat lokasi tembakan, di tengah jalan, sepasukan tentara mencegat.

Sukitman dilucuti tanpa alasan jelas. Kepalanya ditodong senjata. Tangannya diikat. Matanya dibebat kain. Suktiman hanya bisa mendengar suara tembakan menggema.

Suara tembakan itu berasal dari rumah Jenderal DI Panjaitan. Tak disangka, ang Jenderal itu tewas tertembak sepasukan Pasoepati, gaungan Tjakrabirawa dan Pemuda Rakyat, sayap pemuda PKI. Pasukan Pasoepati mengira Sukitman sebagai ajudan DI Panjaitan.

Sukitman tentu tak tahu mengenai kematian Panjaitan. Ia hanya tahu, tak lama setelah diikat dan mata ditutup, disuruh naik truk dan entah akan dibawa ke mana. Laju truk menjauh menuju pinggir ibu kota.

Saat tiba di lokasi penyekapan, untuk kali pertama bebatan di matanya dilepas. Sukitman kaget bukan alang kepalang. Ia mendapati para jenderal dalam keadaan mengenaskan.

Evakuasi Jenazah Pahlawan Revolusi. (Ist)

Evakuasi Jenazah Pahlawan Revolusi. (Ist)

Soekitman, menurut Soemarno Dipodisastro dalam buku Kesaksian Sukitman Penemu Sumur Lubang Buaya, menyaksikan satu per satu jenderal dieksekusi, lalu jenazahnya dimasukkan ke dalam lubang dan lantas ditutup dedaunan.

Sukitman pakai jurus pura-pura mati. Penyekap membiarkannya tergeletak dan meninggalkannya karena dianggap telah tiada nyawa. Ia lantas bertemu peluang melarikan diri.

Perlahan, Sukitman mengendap-endap sampai akhirnya bisa melewati sisi luar area penyekapan. Dari situ ia baru menyadari lokasi itu sebuah desa bernama Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Dengan susah payah Sukitman berusaha mencapai pusat kota untuk menemui pihak militer. Ia pun akhirnya sampai di Bina Graha, sebelah Istana Negara dan bertemu dengan pihak militer.

Di hadapan militer, Sukitman menunjuk desa Lubang Buaya, daerah Pondok Gede, ketika tahun 1965 masih masuk wilayah Bekasi sebagai tempat eksekusi para jenderal. Informasi Sukitman langsung direspons RPKAD.

BACA JUGA: Momen Menegangkan Evakuasi Jenazah Pahlawan Revolusi

Fesial Tanjung lantas memerintahkan Letnan Dua Sintong Panjaitan untuk memeriksa dan mengamankan daerah Lubang Buaya. “Tong, di situ tempat latihan Pemuda Rakyat dan ormas PKI lainnya. Di situ kamu periksa semua. Kalau mereka dibunuh, juga di sekitar tempat itulah adanya,” ujar Feisal Tanjung.

Feisal Tanjung mengirim tiga peleton RPKAD dengan Sintong Panjaitan sebagai komandan peleton satu.

Setiba di lokasi, Sintong dan pasukan menyisir lokasi dan setia mengikuti petunjuk Sukitman tentang lubang tertumpuk dedaunan. Mereka pun dapat informasi penting dari masyarakat sekitar tentang keberadaan sebuah lubang, baru saja ditimbun sampah dedaunan dan ditandai pohon pisang.

Evakuasi Jenazah Pahlawan Revolusi. (Ist)

Evakuasi Jenazah Pahlawan Revolusi. (Ist)

“Jangan-jangan para korban itu ada di sana”, batin Sintong. “Coba gali itu”, perintahnya, tulis Hendro Subroto dalam biografi Sintong Panjaitan berjudul Perjalanan Seorang Prajurut Para Komando.

Begitu digali hingga mencapai dua meter, mereka mulai menemukan potongan kain berwarna merah, hijau, dan kuning.

Mereka meneruskan penggalian dibantu warga sekitar. Saat kedalaman sekira delapan meter, bau amis darah mulai tercium. Penggali pun tak kuat bebauan itu dan minta digantikan. Anggota RPKAD mengambil alih dan terus menggali. Tak lama kemudian, didapati kaki manusia.

Sintong langsung mengabari pimpinan melalui sambungan radio. Soeharto kemudian membalas dan menyampaikan agar Sintong dan pasukannya menghentikan penggalian menunggu dirinya datang ke Lubang Buaya.

  • BAGIKAN
  • line