Bung Hatta, Negarawan dan Hati Nurani Bangsa

Mohammad Hatta merupakan salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Ir Soekarno dan tokoh intelektual lainnya, mereka berupaya mewujudkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Dilansir dari buku Biografi Politik Mohammad Hatta karya Deliar Noer (LP3ES, 1990), Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Ia berasal dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Dikutip dari laman resmi perpustakaan nasional, Hatta menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi. Kemudian, selama 1913-1916, melanjutkan studi ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang.
BACA JUGA: KH Abdul Ghafar Ismail, Ulama Pejuang dan Macan Mimbar Syiar Islam
Saat berusia 13 tahun, Hatta sebenarnya sudah lulus ujian masuk HBS atau Sekolah Menengah Dagang setingkat SMA di Jakarta. Namun, ibunya menginginkan Hatta tetap di Padang mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya, Hatta melanjutkan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah pertama di Padang dan lulus tahun 1919. Ia lantas pergi ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di HBS.

Bung Hatta memiliki karakter dan sifat yang layak jadi panutan,(Dok/Deliar Noer)
Tahun 1921, Hatta menuntaskan studinya di HBS dengan hasil sangat baik. Dia lalu pergi ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar ilmu perdagangan atau bisnis di Nederland Handelshogeschool yang kini menjadi Erasmus Universiteit. Hatta tinggal di Belanda selama 11 tahun, terhitung sejak September 1921.
Di luar perjuangan politik dan posisinya sebagai founding father, Mohammad Hatta selalu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam banyak hal. Mulai dari dasar negara, konsep NKRI, proklamasi, hingga gagasan tentang ekonomi kerakyatan. Tak heran apabila negarawan asal Bukttinggi ini didapuk sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya meneladani Bung Hatta.
Berikut ini adalah lima nilai semangat Mohammad Hatta yang patut ditiru:

Bung Hatta masuk dalam kelompok founding father Indonesia.(Dok/Deliar Noer)
Jiwa Solidaritas dan Kesetiakawanan
Solidaritas adalah simpati untuk kepentingan bersama yang dilandasi oleh rasa kesetiakawanan. Bung Hatta bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bersama seluruh lapisan masyarakat.
Pro Patria dan Primus Patrialis
Artinya Bung Hatta selalu mencintai dan mendahulukan kepentingan Tanah Air. Beliau pernah diasingkan ke Boven Digul karena dianggap membangkan terhadap pemerintah kolonial. Meski demikian, Bung Hatta tidak gentar. Bahkan, Bung Hatta berikrar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta menepati janjinya. Beliau menikah pada 18 November 1945.
Jiwa Toleransi atau Tenggang Rasa
Toleransi merupakan sikap tenggang rasa antarumat beragama, suku, golongan, dan bangsa. Ini tercermin dari sikap Bung Hatta yang menghargai kultur orang lain meskipun ia tidak ikut ambil bagian dalam kultur tersebut. “Banyak kesaksian kawan-kawannya maupun penuturan ia sendiri dalam memoir-nya, betapa Hatta sangat asketik, tidak mau tergoda dengan beberapa kultur Barat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, Hatta amat menghargai kultur orang lain itu meskipun ia sendiri tidak ikut ambil bagian atau larut di dalamnya,” tulis Zed dalam buku Cara Baik Bung Hatta.

Bersama Bung Karno keduanya menjadi dwi tunggal.(Dok/Sejarah Indonesia)
Jiwa Tanpa Pamrih dan Bertanggung Jawab
Hatta berjuang semata-mata agar negeri tercintanya lepas dari cengkeraman penjajah. Ia tidak memiliki maksud untuk menguntungkan diri sendiri. Ia paham dan siap terhadap semua konsekuensi dari jalan politik yang ia tempuh. Saat itu, berani melawan kolonialisme artinya siap untuk hidup menderita.
Jiwa Ksatria
Bung Hatta memiliki jiwa ksatria, yakni kebesaran hati yang tidak mengandung balas dendam. Seseorang yang berjiwa ksatria berani membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pada saat yang sama, ia juga berbesar hati dan mengakui kelemahan.

Bung Hatta menjadi tokoh yang terkenal dengan kesederhanaannya.(Dokumentasi Keluarga Bung Hatta)
Selain itu, salah satu sifat yang begitu identik dengan Bung Hatta yakni kesederhanaan. Dari jabatan Wakil Presiden, Perdana Menteri hingga menjadi dosen, Bung Hatta senantiasa tampil sederhana dan hidup ugahari. Keutamaan ini tentu saja tidak terlepas dari askese intelektualnya yang paripurna. Ia menjadi panutan, teladan dan rujukan bagi semua orang. Bung Hatta menjelma sebagai cermin hati nurani bangsa.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar