Benarkah Patung Pangeran Kornel Merekam Kisah Keberanian Kusumadinata IX Melawan Daendels?

4 Jun 2021
  • BAGIKAN
  • line
Benarkah Patung Pangeran Kornel Merekam Kisah Keberanian Kusumadinata IX Melawan Daendels?

Tak ada tanda paling ikonik memisah jalan Cadas Pangeran Atas dan Bawah, Pamulihan, Kabupaten, Jawa Barat, selain patung dua sosok laki-laki bersalaman.

Satu sosok menampilkan lelaki bertopi tricorn mengenakan busana militer lengkap dengan jubah dan pedang. Sementara, di seberangannya, berdiri sosok lelaki berikat kepala totopong, mengenakan jas beludru khas menak Sunda.

Keduanya berhadap-hadapan. Sosok bertopi tricorn mengulurkann tangan kanan, lalu disambut bekapan tangan kiri lelaki bertotopong sembari tangan kanannya memegang sebilah keris.

BACA JUGA: Ragam Sebutan Daendels Seturut Cerminan Kebijakannya

Bila di masa kini kedua patung di Jalan Raya Ciherang jadi patokan pengendara mau melintas Cadas Pangeran Atas atau Bawah, di masa lalu patung tersebut jadi monumen keberanian seorang bupati menentang kebijakan keji gubernur jenderal.

Patung Pangeran Kornel, begitulah masyarakat menabalkan nama pada dua sosok patung tersebut. Pembuatan patung tersebut diinisiasi Bupati Sumedang Sutardja (1983-1988) dalam rangka mengenang keberanian Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX atau Pangeran Kornel menentang kebijakan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), saat membangun megaproyek De Groote Postweg atau Jalan Raya Pos terutama di daerah Cadas Pangeran.

Saat pembangunan jalan terjadi, menurut Achmad Wiriaatmadja pada Cadas Pangeran, Pangeran Kusumadinata IX tak tega melihat penderitaan para pekerja lantaran harus bersusah payah bekerja di medan dengan kontur tanah keras, medan terjal, sehingga banyak memakan korban.

Ia tentu saja menaruh amarah terhadap empunya proyek pembangunan jalan penghubung Anyer-Panarukan tersebut.

Ketika Daendels datang menginspeksi kawasan tersebut, menurut cerita tutur masyarakat, Kusumadinata IX menyambut tenang dengan sebuah kejutan.

Jalan Cadas Pangeran circa 1900. (Sumber: Kitlv.nl)

Jalan Cadas Pangeran circa 1900. (Sumber: Kitlv.nl)

“Tuan Mareskalek (Daendels) mengulurkan tangan hendak berjabat salam, maka Dalem Sumedang (Kusumadinata IX) menyambut dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang hulu keris telah diputar di pinggang dari belakang ke muka,” tulis R Memed Sastrahadiprawira dalam Pangeran Kornel.

Daendels keheranan mengapa Kusumadinata IX menyambut uluran salamnya dengan tangan kiri. Kusumadinata IX tanpa tedeng aling-aling langsung bercerita tentang beban kerja rakyat begitu berat membangun jalan di Cadas Pangeran.

Kemudian bertanya mengapa jabat tangannya disambut tangan kiri. Kusumudanita IX kemudian menceritakan beban kerja rakyat membangun jalan di Cadas Pangeran sambil memperlihatkan tangan kanannya sedang memutar hulu keris.

Sang Mareskalek pun menerima dan menyerahkan pengerjaan kepada pasukan zeni.

Benarkah persitiwa pertemuan dan jabat tangan Daendels-Kusumadinata IX pernah terjadi?

Pertemuan di Ciherang tersebut memantik rasa penasaran Prof Djoko Marihandono, pengajar Sastra Perancis FIB-UI menelusur data historis di pelbagai tempat.

Selain berkutat berkait arsip Daendels di Arsip Nasional RI, Marihandono kemudian menelusur arsip dari Centre d`accueil et de recherche des archieves nationales (CARAN) di Rue des Ecoles, Paris, Perancis, untuk penggarapan disertasi berjudul “Setralisme Kekuasaan Pemerintah Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”.

Di salah satu bundel arsip Priangan berisi korespondensi pengusaha Bumiputera kepada pejabat Belanda, khususnya bertugas menjadi pengawas proyek Jalan Raya Pos pada pertengahan tahun 1808, Djoko Marihandono justru menemukan  perbedaan sikap Kusumadinata IX terhadap pembangunan Jalan Raya Pos.

“Sebaliknya Bupati Sumedang yang disebut-sebut dalam arsip tidak menyatakan keberatan sama sekali, bahkan menawarkan bantuan lebih lanjut kepada penguasa kolonial jika masih diperlukan,” tulis Marihandono dalam buku Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan.

Menurut tradisi administrasi kolonial, lanjut Marihandono, setiap persitiwa termasuk kedatangan seorang Gubernur Jendral pasti akan meninggalkan catatan dan laporan sangat panjang.

Mulai laporan keberangkatannya, daerah mana saja kunjungannya, hingga siapa saja tamunya atau orang dikunjungi.

Semua kegiatan, lanjut Marihandono, pasti akan tercatat lengkap dan tersimpan sebagai arsip. Anehnya, pertemuan Dandels-Kusumadinata tak terdokumentasi.

“Persitiwa pertemuan Gubernur Jendral Daendels dan Pangeran Kusumadinata tidak tertulis dalam arsip mana pun,” tegas Marihandono.

Selain arsip, seturut Marihandono, beberapa tulisan leksikografi tentang masa pemerintahan Daendels pun tak pernah mencuplik peristiwa tersebut.

Sementara, sumber utama tentang pertemuan itu hanya ada pada prasasti di bawah patung Pangeran Kornel dan cerita lisan masyarakat.

Pada prasati tertulis, “Onder Leiding van Raden Demang Mangkoepradja en Onder Toezicht van Pangeran Koesoemadinata Aangelegt 1811 Doorgekapt 26 November tot Maart 1812, (Di bawah Pimpinan Raden Demang Mangkoepradja dan di bawah Penelitian Pangeran Koesoemadinata, dibuat pada tahun 1811, dibobok dari tanggal 26 Nopember sampai 12 Maret 1812)”.

Marihandono meragukan keterkaitan isi prasati dan peristiwa tersebut.

Daendels, menurut keputusan Kaisar Napoleon Bonaparte, mengakhiri masa jabatan pada 16 Mei 1811.

Sang Marsekal Guntur berlayar dari pelabuhan Surabaya menggunakan kapal menuju Eropa pada 29 Juni 1811.

Pada bulan September 1811, Sang Mareskalek diterima Napoleon di Paris.

“Dengan demikian periode yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut (tanggal 26 November 1811 sampai 12 Maret 1812) bukan masa pemerintah Daendels, melainkan Raffles,” ungkap Marihandono.

Namun, pada masa Raffles tak pernah tercatat ada kunjungannya ke daerah Priangan. Peristiwa pertemuan dan jabat tangan Daendels-Kusumadinata IX justru laris manis di berbagai cerita maupun tutur lisan masyarakat.

Munculnya mitos dan legenda Daendels-Kusumadinata, menurut Marihandono, menunjukkan polarisasi politik semasa dan setelah pemerintahan Daendels tak hanya terjadi sebatas pada kalangan Eropa, tetapi juga melibatkan kaum Bumiputera.

“Munculnya legenda di atas menunjukan beberapa kalangan pejabat Eropa berusaha menciptakan citra tentang Daendels di mata para elit penguasa dan masyarakat bumiputera,” tulis Marihandono.

“Hal ini sengaja dimunculkan dan digunakan oleh orang-orang Eropa anti-Daendels untuk menyatakan megaproyek Daendels tidak berhasil mengentaskan kondisi kehidupan rakyat”. (*)

  • BAGIKAN
  • line