Tragedi Semanggi II dan Desakan Penyelesaian Kasus HAM Berat

Tragedi Semanggi II termasuk salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang penyelesaiannya sampai sekarang tidak jelas. Desakan untuk mengadili para pelaku tidak pernah dijalankan sebagaimana mestinya.

Tragedi Semanggi merujuk pada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR 1998 yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.

BACA JUGA:  Teguh Karya, Jejak Sutradara Legendaris

Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.

desakan penyelesaian tragedi semanggi

Tragedi Semanggi berawal dari demo mahasiswa menolak Dwifungsi ABRI.(Dok/Kontras)

Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.

Kala itu, adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer.

Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Lembaga advokasi Kontras dalam pernyataan persnya beberapa waktu lalu mendesak pemerintah agar penyelesaian Tragedi Semanggi segera dituntaskan. Lebih lanjut Kontras menilai proses pengadilan para pelaku Tragedi Semanggi lebih banyak bersifat politis ketimbang aspek yudisialnya.

penembakan mahasiswa

Penyelesaian tragedi semanggi masih belum jelas sampai sekarang.(Dok/Kontras)

Tragedi Semanggi II (24 September 1999) menjadi salah satu pelanggaran HAM berat yang relevan dengan kondisi kebebasan berekspresi hari ini. Peristiwa ini terjadi saat maraknya aksi mahasiswa dan masyarakat yang menentang Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) pada tahun 1999. Penyusunan regulasi tersebut mengancam keberlangsungan agenda reformasi utamanya tentang poin penghapusan agenda dwifungsi ABRI. Peristiwa tersebut menyebabkan 11 (sebelas) korban meninggal dunia dan 217 korban luka-luka sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM. Setelah 22 tahun berlalu, belum ada upaya penuntasan dengan maksimal baik dari segi hukum, pengungkapan fakta, pemulihan keluarga korban maupun jaminan ketidakberulangan.

Jaminan ketidakberulangan bahkan gagal dipenuhi oleh Negara dengan terjadinya sejumlah peristiwa serupa Tragedi Semanggi II, seperti aksi #ReformasiDikorupsi (24 – 30 September 2019) yang sedikitnya menyebabkan 5 orang tewas, juga pada aksi untuk menentang Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang eskalasinya meningkat pesat pada Oktober 2020. Serangkaian peristiwa tersebut menunjukkan aparat negara masih represif, tidak memperhatikan HAM, dan tidak belajar pada penanganan aksi massa pada Tragedi Semanggi II.

dalang tragedi semanggi

Sampai sekarang aktor intelektual tragedi Semanggi II masih tidak jelas.(Dok/Kontras)

Terlebih lagi, proses hukum yang menjadi syarat terpenuhinya rasa keadilan bagi para keluarga korban juga terus menjumpai kendala. Bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dan membuat proses penyelesaian terus terkatung-katung. Negara yang diwakili oleh Kejaksaan Agung tak kunjung menuntut pelaku ke pengadilan. Bahkan dalam kesempatan rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di 16 Januari 2020, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan kontroversial seputar Tragedi Semanggi I dan II.

Pernyataan keliru ini digugat oleh perwakilan keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II lewat mekanisme peradilan tata usaha negara. Meski sempat dimenangkan oleh PTUN Jakarta, keluarga korban justru diberikan kekecewaan sebab proses banding dan kasasi yang berlangsung hingga September 2021 justru memenangkan pihak Jaksa Agung.

Sampai sekarang, penyelesaiaan Tragedi Semanggi masih terkatung-katung di lembaga peradilan tanpa penyelesaian yang memuaskan pihak korban dan keluarganya.(*)

  • BAGIKAN
  • line