Tengku Daud Beureueh Pejuang Kemerdekan Asal Aceh

17 Sep 2022
  • BAGIKAN
  • line
Tengku Daud Beureueh Pejuang Kemerdekan Asal Aceh

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Aceh. Tidak hanya itu, ia juga seorang pejuang kemerdekaan yang melawan penjajahan Belanda.

Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R. Compton dalam sebuah wawancara, “Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu”. (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995) 

BACA JUGA: Rasuna Said, Pahlawan Perempuan yang Tak Gentar Lawan Belanda

Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama “Beureueh”, daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan “Imeuem (imam) Beureueh”. Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

daud beureuh berjuang untuk aceh

Daud Beureueh melakukan perlawanan sengit kepada Belanda.(Dok/ANRI)

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).

perlawanan daud beureueh

DAud Beureueh berjuang agar panji-panji Islam ditegakan di ACeh.(Dok/acehrprov.go.id)

Daud Beureuh menjadi pemimpin rakyat Aceh dalam melawan Belanda. Belanda terpaksa melakukan segala cara untuk meredamnya. Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi “Bapak Orang-Orang Aceh”.

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, “M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Tengah. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran.”

Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai “Bapak Darul Islam”.

Daud Beureuh disebut Bapak Darul Islam

Teungku Daud Beureueh dikenal sebagai Bapak Darul Islam.(Dok/acehprov.go.id)

Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya –tampaknya seperti pensiun.

Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan –membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju– membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.

Teungku Daud Beureueh adalah “Bapak Orang-Orang Aceh” yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal: “Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda, dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur.

Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan “taplak meja dililitkan di leher” bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.

Daud Beureueh merasa ditipu Sukarno

Daud Beureueh kecewa terhadap pemerintah Sukarno atas janji penerapan syariat Islam di Aceh.(Dok/ANRI)

Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai “Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia” (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong.

Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta –buta yang disengaja oleh Orde Baru– dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler.

R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh. “Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa.

daud beureueh meninggal di aceh

Teungku Daud Beureueh meninggal di Aceh 10 Juni 1987.(Dok/acehprov.go.id)

Namun, menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah “meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati.” Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Ia meninggal di Aceh tanggal 10 Juni 1987.

Bersamaan berpulangnya “Bapak Orang-Orang Aceh”, maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.(*)

  • BAGIKAN
  • line