Telusur Jejak Suku Tutari di Situs Megalitik Papua

Di atas bukit Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua terdapat Situs Megalitik Tutari.
Lokasi yang penuh dengan menhir peninggalan masyarakat prasejarah ini menjadi tempat yang paling misterius di tanah Papua.
Pada bagian utara situs Tutari terdapat bukit yang meninggi bersama ditumbuhi ilalang, semak belukar, pohon kayu putih, serta batu-batuan besar.
Beberapa batu di sana digunakan sebagai media lukisan megalitik oleh para nenek moyang daerah tersebut.
Sementara pada bagian timur dan selatan ke arah kaki bukit, terhampar pemandangan Danau Sentani dengan rumah-rumah warga Kampung Doyo Lama yang tertata mengikuti tepian danau, dengan ujungnya atau tanjung biasa disebut bagian dari Bukit Teletabis, yang menjadi salah satu destiasi wisata.
Penamaan Situs Tutari sendiri bukan sembarangan. Peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto mengatakan, menurut legenda yang dipercaya masyarakat Doyo Lama, Tutari adalah nama salah satu suku yang mendiami kawasan Danau Sentani bagian barat.
Suku ini punah akibat perang suku pada masa lampau.
Dalam cerita masyarakat Doyo yang mendiami wilayah Suku Tutari, disebut bahwa sekitar 600 tahun lalu di kawasan bukit di tepi Danau Sentani Barat pernah tinggal Suku Tutari, di perkampungan yang bernama Tutari Yoku Tamaiyoku.
Hingga kini masyarakat Doyo Lama percaya bahwa Bukit Tutari merupakan tempat keramat yang dihuni makhluk-makhluk gaib.
Namun, dalam legenda ini tidak menceritakan tentang lukisan pada batu-batu yang ada, karena menurut warga setempat lukisan-lukisan itu telah ada sebelum nenek moyang mereka menempatinya.
“Masyarakat Doyo yang tinggal di sekitar kawasan Situs Tutari sekarang ini bukanlah keturunan Suku Tutari,. Nenek moyang mereka semula tinggal di Pulau Yonoqom atau Yonahang (Kwadeware) di Danau Sentani,” ungkap Hari seperti dilansir Antaranews.com.
Kisah kepunahan Suku Tutari terjadi karena serangan secara tiba-tiba Suku Doyo Lama.
Setelah tragedi itu, masyarakat Doyo pindah dan bermukim di Tanjung Warako. Kemudian berpindah lagi ke Ayauge di utara dan akhirnya mereka bermukim di tepi Danau Sentani yaitu di kaki Bukit Tutari.
Setelah para arkeologi meneliti menhir peninggalan masyarakat Tutari, diperkirakan pada masa prasejarah Suku Tutari sudah mengenal kepercayaan animisme, dinamisme, dan memercayai roh nenek moyang.
Hal ini terlihat melalui motif-motif lukisan yang terdapat pada batu-batu di Bukit Tutari.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa aktivitas religi masyarakat Tutari mendominasi hampir pada seluruh aspek kehidupan mereka, terutama berhubungan dengan roh nenek moyang maupun dengan kekuatan-kekuatan supranatural.
“Menurut cerita masyarakat Doyo, batu-batu yang ada di Bukit Tutari adalah masyarakat Suku Tutari yang kalah perang dan mati kemudian berubah menjadi batu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, alumnus Universitas Udayana Bali itu memamparkan bahwa di kawasan Bukit Tutari terdapat sejumlah batu tegak, deretan batu serta bongkah-bongkah batu berlukis dengan berbagai macam bentuk motif seperti manusia, hewan, flora, dan geometris.
Situs Megalitik Tutari telah dibagi menjadi enam sektor, di antaranya terdapat bagian objek lukisan-lukisan batu, tempat berdirinya batu berjajar, dan paling atas menhir bagian puncaknya adalah tempat sakral ada 110 menhir yang masih tetap berdiri.
Untuk objek lukisan pada permukaan batu-batu, tampak terlihat goresan lukisan benda atau makhluk dari konteks Sentani, dalam gurat-guratan putih yakni gelang sebagai alat bayar setempat.
Yoniki atau motif hias setempat yang terlihat goresan berbentuk ikan dan kura-kura serta fauna tangkapan endemik danau.
Lalu, batu berjajar atau ada empat batu besar berdiri berdekatan, berbentuk seperti memiliki kepala, leher, dan badan yang dijuluki sebagai batu ondoafi.
Keempatnya mewakili empat suku di Doyo Lama yakni suku Ebe, Pangkatana, Wali, dan Yapo.
Batu-batu itu tampak seperti manusia yang sedang menatap ke Kampung Doyo Lama.
Kemudian, kompleks batu tegak atau menhir yang ada di puncak bukit atau sektor enam ini, terlihat bahwa teknik pendiriannya unik, karena menhir-menhir itu tidak ditanam ke tanah, tapi hanya di permukaan tanah dengan ditopang batu-batu lebih kecil di sekitarnya.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar