Tari Caci, Bukan Hanya Luka dan Darah Kesatria

Iringan musik dari tetabuhan gendang, gong, tembong, dan kidung adat memecah suasana. Sebelum Tari Caci atau tarian perang itu dimulai, lazimnya sesepuh adat meminta para penari lainnya melakukan Tari Danding atau Tandak Manggarai.
Tarian tersebut dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan Tari Caci.
Para penonton pun riuh dalam luapan bara semangat. Bak perang. Dua kesatria melenggang ke tengah lapangan.
Bagi mereka, hal itu merupakan kebanggaan, ‘ca nai latang Manggarai’, yang berarti ‘Satu hati untuk bumi Manggarai’. Tari Caci atau tarian perang masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur pun bakal segera dimulai.
Kedua kesatria pilihan tersebut maju berhadapan. Tatapan mata mereka tampak tajam memandang. Seorang penari yang berperan sebagai pemukul (paki) berusaha menyerang lawan dengan pecut yang terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan.
Sementara, pegangan pecut dibuat dari lilitan kulit kerbau. Sedangkan di ujung pecut terpasang kulit kerbau tipis yang sudah kering dan keras, atau biasa disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (pori).
Adapun laki-laki yang berperan sebagai penangkis (ta’ang), menangkis serangan lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agang atau tereng.
Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
Tak hanya unik pada persenjataan, pun dengan pakaian khas yang menjadi daya tarik lain.
Para penari mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dipakai dari pinggang hingga sebatas lutut.
Sedangkan tubuh mereka, dibiarkan telanjang. Sebab, pada bagian tubuh itu merupakan sasaran serangan lawan.
Adapun bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni.
Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk sebagai pelindung.
Di samping itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan.
Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan.
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan bergemirincing mengikuti gerak penari, sekaligus penambah semarak musik gendang dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian.
Para penari tersebut tampak gagah mengenakan pakaian tersebut ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata.
Hingga saat ini, Tari Caci masih merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup terkenal dan masih dilestarikan oleh masyarakat Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kesenian tersebut juga masih kerap ditampilkan di berbagai acara seperti syukuran musim panen (hang woja), ritual tahun baru (penti), dan penyambutan tamu besar.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar