Sukarno, Putra Sang Fajar dan Pijar Pancasila dari Ende

Rasanya belum ada dalam sejarah seorang pemimpin bangsa serentak menjadi penggali dasar negaranya selain dalam sosok Sukarno. Ya, Presiden Pertama Republik Indonesia ini tidak hanya sebagai pemimpin bagi rakyatnya tapi juga perumus Pancasila. Pencapaian inilah menempatkan Sukarno sebagai tokoh bangsa, founding father, proklamator dan pemikir yang popularitasnya tak lekang oleh zaman.
Bagaimana kisah hidup dan sejarah tokoh yang dikenang sebagai Putra Sang Fajar itu? Apa saja pergolakan dan perjuangan Sukarno selama hidupnya? Untuk menilisik hal-hal tersebut, mari kita sejenak menengok sebuah tempat di Surabaya, tepatnya di Gang IV, Nomor 40 Kawasan Kampung Peneleh. Di tempat itulah Raden Sukemi bersama istirnya Ida Ayu Nyoman Rai mengontrak dan menetap.
BACA JUGA: Lembah Harau, Salah Satu Lembah Terindah di Indonesia
Kampung Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya bukan kampung biasa. Sejumlah sejarawan menyebutkan Peneleh berasal kata pilihan yang merujuk bahwa dari tempat tersebut muncullah orang-orang pilihan. Di kampung Peneleh, pasangan Soekemi-Ida Ayu Nyoman Rai tinggal bersama anak perempuannya yang bernama Sukarmini. Kemudian pada tanggal 6 Juni 1901 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Kusno tapi lantaran sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Sukarno.

Sukarno bersama keluarganya saat pembuangan di Ende, Flores.(Dok/wiki commons)
Sukarno tumbuh besar dan menjalani kehidupan di Surabaya dibawah asuhan tokoh Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto. Ia pun pindah ke Bandung untuk melanjukan kuliahnya di THB yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung. Dari Bandung itulah, Sukarno melakukan perlawanan politik terhadap Belanda sehingga ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores pada tahun 1934.
Selama pembuangan di Ende, Sukarno yang dalam kesendirian dan terasing dari kawan-kawan seperjuangannya mulai menggumuli dan menggali Pancasila.
Ende sebetulnya bukan tempat yang nyaman untuk merenung apalagi menggali. Debur ombak pantai selatan akibat pertemuan derasnya arus Samudera Indonesia dan dalamnya Laut Sawu, membuat kota Ende tak pernah sepi dari gemuruh.’
Soal gali-menggali, Ende juga menampilkan tanah yang keras. Bukit-bukit kecil dan tiga gugusan gunung api yang mengitarinya menyebabkan semua penggalian akan beradu dengan bebatuan dan sejumlah sedimentasi lainnya. Untuk hal ini, perhatikan saja pulau karang yang menghalangi landasan pacu Bandara Aroeboesman, Ende. Berulang kali dibuldozer dan dihancurkan, tapi ajaib karangnya selalu tumbuh kembali.
Namun, siapa sangka dibalik bising dan kerasnya Ende, Bung Karno dalam pengasingannya menemukan butir-butir Pancasila. Dari kota kecil di lereng perbukitan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Sukarno membingkai Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia.
Hampir semua literatur menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah permenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) di kota kecil itu. Selama masa pembuangan, Soekarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Soekarno yang lain.

Rumah pengasingan Bung Karno di Ende masih terawat hingga saat ini.(Dok/Antara)
“Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.
Asas Ketuhanan Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.
“Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala”.
“Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan”.
“Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolowona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu”.
Selama masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kota Ende terletak di pesisir pantai selatan dengan ombak yang terus bergemuruh.(Dok pribadi)
“Aku menaruh perhatian pada kotbah Yesus di atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut”.
“Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.
Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep “pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan”. Sebagaimana dilansir Antara pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.
Menurut cerita para orang tua di Ende, dalam sebuah kunjungan ke Ende setelah menjadi presiden, Bung Karno dengan lantang memulai pidatonya dengan menggunakan bahasa Ende, yang menyatakan dirinya orang Ende. Pengakuan itu menjelma semacam keyakinan ‘sosial’ orang Ende bahwa Bung Karno berasal dari Ende.
Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiositas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepakan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar