Sejarah Kota Ende di Antara Bung Karno dan Pancasila

20 May 2021
  • BAGIKAN
  • line
Sejarah Kota Ende di Antara Bung Karno dan Pancasila

Kota Ende, hingga kini masih belum diketahui asal-usul dan siapa yang pertama kali memberikan namanya. Menurut antropolog Flores P. Sareng Orinbao, SVD dalam bukunya Nusa Nipa kata Ende berasal dari ungkapan Nusa Eru Mbinge yang merujuk pada tempat yang dimana penghuninya selalu waspada. Kewaspadaan itu lanjut Orinbao diduga disebabkan oleh gemuruh ombak dan serangan pihak luar yang ingin menduduki kota yang terletak di pantai selatan, Pulau Flores tersebut.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian menempatkan Ende sebagai ibu kota kekuasaan untuk wilayah Flores. Tak heran, Ende kemudian berubah menjadi metropolitan kecil di antara gugusan pulau di sekitarnya. Para pedagang dari Makassar, Timur Tengah dan Cina ramai memilih tinggal di Ende untuk mengembangkan usahanya. Etnis Arab dan China masih bertahan hingga kini.

Ende sebetulnya bukan tempat yang nyaman untuk merenung apalagi menggali. Debur ombak pantai selatan akibat pertemuan derasnya arus Samudera Indonesia dan dalamnya Laut Sawu, membuat kota Ende tak pernah sepi dari gemuruh.

Dalam hal tekstur dan topografi tanah, wilayah Ende didominasi tanah yang keras. Bukit-bukit kecil dan tiga gugusan gunung api yang mengitarinya menyebabkan semua penggalian akan beradu dengan bebatuan dan sejumlah sedimentasi lainnya. Untuk hal ini, perhatikan saja pulau karang yang menghalangi landasan pacu Bandara Aroeboesman, Ende. Berulang kali dibuldozer dan dihancurkan, tapi ajaib karangnya selalu tumbuh kembali.

Patung Sukarno di Ende.

Patung Bung Karno di bawah naugan pohon Sukun di Ende.

Siapa sangka dibalik bising dan kerasnya Ende, Bung Karno dalam pengasingannya menemukan butir-butir Pancasila. Dari kota kecil di lereng perbukitan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Sukarno membingkai Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia.

Hampir semua literatur menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah permenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934-18 Oktober 1938) di kota kecil itu.

Selama masa pembuangan, Sukarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Sukarno yang lain.

“Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.

Wartawan asal Amerika Serikat ini, menulis dan mendapat persetujuan dari Bung Karno untuk mencetak buku legendaris, “Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams”.

Cindy pernah menanyakan sebuah pertanyaan penting kepada Bung Karno, “Apa pesan Anda kepada rakyat Indonesia?” Soekarno pun menjawab dengan jawaban yang sangat patriotik dan menggugah semangat kebangsaan.

Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial Belanda, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.

“Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala”.

“Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan”.

“Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu”.

Cindy Adams juga menulis bahwa Soekarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.

Dalam masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Aku menaruh perhatian pada kotbah Yesus di atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut”.

“Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.

Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep “pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan”. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.

Di Sukamiskin atau di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman Bung Karno diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.

Menurut cerita para orang tua di Ende, dalam sebuah kunjungan ke Ende setelah menjadi presiden, Bung Karno dengan lantang memulai pidatonya dengan menggunakan bahasa Ende, yang menyatakan dirinya orang Ende. Pengakuan itu menjelma semacam keyakinan ‘sosial’ orang Ende bahwa Bung Karno berasal dari Ende.

Bahkan dalam keterangan yang dikisahkan kembali mantan Bupati Ende, Haji Hasan Aroeboesman bahwa Bung Karno mengungkapkan kata ‘Esa’ dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa itu berasal dari bahasa Ende. Bahasa Ende esa itu berarti satu atau merujuk ke angka satu.(*)

 

  • BAGIKAN
  • line