Sayuti Melik, Bukan Sekadar Tukang Salin Teks Proklamasi

22 Nov 2019
  • BAGIKAN
  • line
Sayuti Melik, Bukan Sekadar Tukang Salin Teks Proklamasi

Pembacaan proklamasi oleh Presiden RI Sukarno adalah penanda terbebasnya Indonesia dari belenggu penjajah.

Meski kekuatan dari kalimat proklamasi begitu besar bagi kemerdekaan Indonesia, proses pembuatannya tak lama. Teks proklamasi disusun hanya waktu dua jam tepatnya pukul 02.00 hingga 04.00 dini hari.

Setelah teks proklamasi rampung dan disepakati oleh Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Sukarno, dan Achmad Soebardjo, tak serta merta langsung dibacakan.

Naskah yang masih tulisan tangan Sukarno itu kemudian diketik pada pagi harinya sebelum memulai pembacaan. Beberapa keredaksionalan kalimat yang salah diubah menjadi benar.

Sosok di balik pengetikan teks proklamasi adalah Mohamad Ibnu Sayuti Melik.

Ia salah satu tokoh Menteng 31, kelompok pemuda yang menculik Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945, yang dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok.

Sayuti Melik lahir dari pasangan Abdul Mu’in alias Partoprawito dan Sumilah. Ayahnya adalah bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.

Sejak kecil, ia sudah ditanamkan rasa nasionalisme. Misalnya saat sang ayah menentang kebijakan pemerintah Belanda yang ingin menggunakan sawah keluarganya untuk ditanam tembakau.

Saat masa pergerakan, Sayuti bolak balik penjara karena lantang menyuarakan kebenaran lewat tulisannya. Ia pernah ditangkap pemerintah Belanda lantaran dituduh membantu PKI dan dibuang di Boven Digul.

Sayuti juga pernah ditanggap pemerintah Inggris lantaran tulisannya. Terakhir ia sempat dimasukkan ke dalam sel di Gang Tengah yang kini bernama Rutan Salemba.

Berjuang dengan cinta sejatinya

Sayuti Melik dan SK Trimurti. (Ist)

Sayuti Melik dan SK Trimurti. (Ist)

Perjuangan Yuti, sapaan akrab Sayuti Melik semakin menjadi-jadi setelah mempersunting Soerastri Karma Trimurti pada tanggal 19 Juli 1938.

Mereka sempat membuat koran Pesat di Semarang. Koran ini terbit tiga kali seminggu. Penghasilan yang masih kecil tak menyurutkan pasangan aktivis ini untuk menutup korannya.

Mereka membagi tugas di berbagai pekerjaan mulai dari redaksi, urusan cetak, distribusi hingga penjualan.

Sayuti dan Trimurti juga secara bergantian keluar masuk penjara karena tulisannya yang tajam. Hingga akhirnya, pada zaman kependudukan Jepang, koran Pesat dibredel.

Trimurti ditangkap Kempeitai, satuap polisi militer Jepang. Sementara, Sayuti dicurigai sebagai seorang komunis.

Setahun setelah penangkapan, berdirilah Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Empat Sekawan yakni Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kiai Mas Mansoer.

Mereka menuntut pemerintahan Jepang untuk membebaskan Trimurti. Perjuangan Sayuti Melik dan S.K. Trimutri terus berlangsung meski Indonesia telah merdeka.

Tak akur dengan Sukarno

Banyak yang mengira kalau Sayuti merupakan kaki tangan Sukarno.

Padahal sebaliknya, Sayuti bahkan sempat menolak usulan MPRS untuk mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup.

Ia juga punya pemikiran berbeda dengan Sukarno yang nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Sementara, Sayuti lebih memilih pemikiran nasionalis, agama, dan sosialisme (Nasasos).

Sayuti juga sempat ditangkap pemerintah RI tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan dan terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946.

Namun, setelah diperiksa Mahkamah Tentara Sayuti dinyatakan tak bersalah.

Tulisannya yang berjudul Belajar Memahami Sukarnoisme yang dimuat pada 50 media masa sempat dilarang beredar.

Tulisannya kemudian bersambung dengan artikel yang menjelaskan perbedaan Marhaenisme dengan Marxisme-Leninisme. Saat itu, Sayui melihat PKI hendak menunggangi Sukarno untuk masuk lebih dalam pemerintahan.

  • BAGIKAN
  • line