Perjanjian Roem-Rojen Lompatan Politis Menuju KMB Den Haag

Sepanjang konflik Indonesia dan Belanda seusai proklamasi kemerdekaan terjadi serangkaian perjanjian. Mulai dari perjanjian Linggarjati hingga Perjanjian Renville. Sialnya, dua perjanjian ini tidak pernah mendapatkan hasil yang memuaskan pihak Indonesia. Didesak oleh kecaman dan dukungan pelbagai pihak yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia, khususnya Dewan Keamanan PBB, Belanda terpaksa kembali ke meja perundingan.

Belanda dan Indonesia bertemu dan melakukan Perjanjian Roem-Rojen. Tujuan perjanjian ini yakni untuk menyelesaikan konflik kedua belah pihak. Tak hanya itu, perjanjian Roem-Rojen memiliki latar belakang yang panjajg. Dilansir dari buku “Sejarah Indonesia Kelas XI, perundingan Roem-Rojen berawal pada bulan pertama tahun 1949 di mana terdapat desakan dari Dewan Keamanan PBB yang membuat Belanda melakukan pendekatan politis dengan Indonesia.

BACA JUGA: Lima Destinasi Wisata Populer Wonosobo Tahun 2022

Perdana Menteri Belanda Dr Willem Dress mengundang Prof. Dr. Soepomo untuk berunding. Undangan tersebut diterima dan merupakan pertemuan pertama Indonesia-Belanda sejak 19 Desember 1948. Pertemuan tersebut tidak diumumkan kepada masyarakat umum karena bersifat informal. Pertemuan informal lain juga dilakukan oleh utusan dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg(BFO) dengan Presiden Sukarno dan wakilnya Mohammad Hatta pada tanggal 21 Januari 1949.

latar belakang perjanjian roem-rojen

Perjanjian Roem-Rojen diwakili oleh Moh Roem dan Van Roijen.(Dok/Sejarah Indonesia)

Hasil pertemuan tersebut juga tidak diumumkan kepada masyarakat secara resmi namun diberitakan dalam harian Merdeka tanggal 19 dan 24 Januari 1949. Meski tidak resmi, namun pertemuan itu mencapai kesepakatan antara RI dan BFO yang disampaikan oleh Moh. Roem. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan PBB dalam perundingan formal.

Pada bulan berikutnya, tepatnya 13 Februari 1949 Mohammad Hatta secara resmi mengeluarkan pendapat. Isi dari argumen tersebut yaitu perundingan bisa terjadi jika telah dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah Indonesia sesuai dengan resolusi PBB tanggal 24 Januari 1949. Pendapat Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO.

Maka dari bisa disimpulkan bahwa Indonesia menyetujui adanya perundingan. Sehingga pada 26 Februari 1949, Belanda mengumumkan akan mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 12 Maret 1949. Dua hari setelah pengumuman KMB atau tepatnya pada 28 Februari 1949, Belanda mengutus Dr. Koets untuk menemui Ir. Soekarno dan beberapa pimpinan RI di Pulau Bangka. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyampaikan rencana KMB bulan Maret yang akan datang.

mr moh roem ketua delegasi indonesia

Mr Moh. Roem menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perjanjian Roem-Rojen.(Dok/Sejarah Indonesia)

Tanggal 3 Maret 1949, Presiden Soekarno kemudian berbicara dengan BFO terkait perlunya pengembalian kedudukan RI sebagai syarat diadakannya perundingan sesuai resolusi PBB. Tanggal 4 Maret, Soekarno kemudian membalas undangan dari Dr. Koets. Undangan tersebut merupakan undangan untuk pemerintah Indonesia. Sehingga Presiden Soekarno menyampaikan bahwa Indonesia tidak bisa ikut berunding jika pemerintahan belum dikembalikan ke Yogyakarta. Dengan demikian, sebelum perundingan terjadi, Belanda harus mengakui kedaulatan RI.

Sementara itu, pihak BFO juga mengeluarkan pernyataan yang isinya sebuah pemberitahuan bahwa BFO tetap berpegang teguh pada pendirian semula. Tanggal 23 Maret 1949, Komisi PBB untuk Indonesia menyampaikan kepada Belanda bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan resolusi PBB dan tidak merugikan tuntuan kedua belah pihak.

Setelah melalui berbagai perundingan informal, akhirnya pada 14 April 1949 Indonesia dan Belanda melakukan perundingan di Hotel Des Indes atau yang sekarang bernama Hotel Duta Melin, Jakarta. Perundingan dilakukan cukup lama dan sempat terhenti karena perbedaan pendapat yang sengit. Perundingan yang berjalan lambat membuat Mohammad Hatta akhirnya datang ke Jakarta pada 24 April 1949. Pihak RI kemudian menempuh jalan lain yaitu dengan mengadakan perundingan informal secara langsung dengan Belanda yang disaksikan Merle Cochran.

merle cochran dari UNCI

Dewan Keamanan PBB mengirim delagasi yang tergabung dalam UNCI yang dipimpin Merle Cochran.(Dok/Sejarah Indonesia)

Tanggal 25 April 1949 juga diadakan pertemuan informal antara Mohammad Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Roiyen. Hasil pertemuan tersebut tidak diumumkan. Namun Mohammad Hatta menyampaikan bahwa pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda. Singkat cerita akhirnya kedua belah pihak menyetujui pernyataan dari masing-masing pihak dalam hal ini Indonesia dan Belanda. Perjanjian tersebut kemudian ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh Mr. Moh Roem dari Indonesia dan Dr. Van Roiyen dari Belanda. Maka dari itu, persetujuan ini disebut sebagai Perjanjian Roem Royen.

Dinukil dari dari buku “Sejarah Indonesia Kelas XI”, berikut isi Perjanjian Roem Royen. Isi Penyataan Perwakilan Indonesia Indonesia menyatakan kesanggupan untuk mengehentikan Perang Gerilya sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Bekerjasama mengambalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban. Indonesia akan turut serta dalam KMB di Den Haag dengan tujuan mempercepat penyerahan kedualatan dan sebenarnya tanpa syarat.

hasil perjanjian roem-rojen

Perjanjian Roem-Rojen menghasilkan KMB di Den Haag, Belanda.(Dok/Sejarah Indonesia)

Isi Penyataan Perwakilan Belanda Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta tanggal 24 Juni 1949 yakni Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah tersebut dan Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta. Konferensi Meja Bundar akan dilaksanakan di Den Haag.

Perjanjian Roem-Rojen dihadiri oleh tiga delegasi. Pertama delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem. Sedangkan Belanda diwakili oleh Herman van Roijen. Selain kedua tokoh tersebut, ternyata masih ada beberapa pihak yang terlibat dalam perundingan ini. Pihak Indonesia Moh. Roem, Supomo Ali Sastroamidjojo, Johannes Leimena, K. Pringgodigdo, Johannes Latuharhary, Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan dari delegasi Belanda yaitu H. van Roijen, Blom Jacob Van Gede, P.J. Koets van Hoogstratenden Gieben dan dari delegasi UNCI terdiri dari Merle Cochran dari Amerika Serikat, Critchley dari Australia dan Harremans dari Belgia.

Dari Perjanjian Roem-Rojen, Indonesia dan Belanda sepakat untuk bersama dalam perundingan resmi dan besar yakni Konferensi Meja Bunda(KMB) di Den Haag, Belanda.(*)

  • BAGIKAN
  • line