Pejuang Sekaligus Pendidik Ulung Asal Aceh Itu Bernama Teungku Fakinah

27 Jan 2020
  • BAGIKAN
  • line
Pejuang Sekaligus Pendidik Ulung Asal Aceh Itu Bernama Teungku Fakinah

Berumur tua tak membuat semangat Teungku Fakinah kendur. Napas perjuangannya terus menggelora di medan gerilya. Berulang kali ia memimpin perang melawan tentara kolonial Belanda.

Perempuan kelahiran Mukim Lamkrak, Desa Lamdiran, Kampung Lambeunot, Aceh Besar, 1856 tersebut, menikah dengan Teungku Ahmad pada 1872.

Teungku Aneuk Glee atau Teuku Ahmad merupakan seorang pejuang yang membuka perguruan agama di Lamkrak. Sayangnya, baru setahun menjalani rumah tangga Fakinah yang saat itu berusia 17 tahun sudah menjadi janda.

“Suaminya gugur dalam suatu peperangan melawan Belanda pada 1873,” tulis Michael Feener dalam buku Islam and the Limits of the State.

Bara juang Fakinah semakin membesar. Ia tergerak melanjutkan perjuangan suaminya yang lebih dulu syahid. Ia juga berinisiatif menggerakkan kaum hawa untuk mendirikan badan amal.

Adapun tujuan dibentuk badan amal tersebut, mengumpulkan sumbangan dari masyarakat tak hanya uang, tapi juga padi atau bahan makanan lain.

Tak disangka, keanggotannya berkembang pesat. Banyak perempuan dari pelosok Aceh bergabung.

Pada saat para pejuang datang ke Lamkrak, organisasi Fakinah menyediakan makanan. Selain itu, mereka juga menyiapkan perbekalan gerilya untuk pejuang Aceh.

Berjuang gerilya

Seiring berjalan waktu, Fakinah menemui jalan buntu. Ia bosan jika hanya berada di balik layar saja. Tak urung, ia memberanikan diri menghadap Sultan Aceh.

Di hadapan Sang Raja, Fakinah mengutarakan isi hatinya untuk ikut mengangkat senjata dan bergerilya melawan Belanda.

Menurut Rusdi Sufi dkk dalam buku Aceh Tanah Rencong mengisahkan, setelah mendapat lampu hijau dari raja, Fakinah segera membentuk pasukan; empat regu (batalion), salah satunya terdiri kaum perempuan.

Selama berada dalam front terdepan, Fakinah bersama sahabatnya, Cut Nyak Dhien tak pernah kendur melihat serangan lawan.

M. Dien Madjid dalam Catatan Pinggir Sejarah Aceh menulis, Teungku Fakinah bersahabat dengan Cut Nyak Dhien. “Keduanya berasal dari Aceh Besar,” tulis Dien.

Kedekatan dua perempuan tangguh itu tak hanya di medan perang. Setiap kali Cut Nyak Dhien ke Lamkrak tak pernah lupa singgah di kediaman Teungku Fakinah.

Pun sebaliknya. Cut Nyak Dhien yang kerap berpindah tempat lantaran harus bergerilya, menanti kehadiran Fakinah. Selama beberapa tahun, Fakinah menjalani masa gerilya bersama Cut Nyak Dhien.

Suatu kali ia memimpin pasukan yang harus melindungi banyak perempuan dalam rombongan, termasuk permaisuri Sultan Aceh dan Pocut Awan (ibunda Panglima Polem) yang sudah lanjut usia.

Melihat hal itu, Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud (Panglima Polem) terenyuh.

Menurut Panglima Polem, perjuangan Teungku Fakinah berbahaya. Ia pun meminta pejuang nan berani itu pulang ke kampung halaman di Lamkrak.

Teungku Fakinah manut. Tak lama berselang, pasukan kolonial di bawah komando JB van Heutsz menaklukkan seluruh Aceh dalam sebuah peperangan paling lama dalam sejarah kolonialisme di Hindia-Belanda, yakni mulai dari 1873 sampai 1904.

Berjuang di pendidikan

Pada 21 Mei 1910, Fakinah kembali ke kampung. Tapi ia tak tinggal diam. Fakinah membuka kembali perguruan agama milik ayahnya Datuk Mahmud, seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah.

Ia juga mengangkat kembali semangat juang Ratu Aceh Tajul Alam Safiatuddin, mengangkat derajat kaum hawa dan memberikan pembelajaran kepada masyarakat di Lamdiran.

Sementara ibunya Cut Fathimah, merupakan putri dari ulama sekaligus tokoh pendidikan di Aceh bernama Teungku Muhammad Sa’at atau Teungku Chik Lampucok.

Kakek Fakinah adalah pendiri perguruan agama bernama Dayah Lampucok. Dengan demikian, dalam diri Fakinah mengalir darah umara dari ayahnya bercampur dengan darah ulama dari garis ibunya.

Setahun kemudian, 1911, berkat bantuan berupa tenaga dan uang, perguruan agama untuk perempuan didirikan Fakinah. Pesantren itu merupakan satu-satunya pusat pendidikan Islam yang dipimpin perempuan.

Pesertanya pun tak hanya golongan remaja, tapi juga perempuan paruh baya, terutama para janda-janda perang.

Juli 1915, Teungku Fakinah pergi haji ke Mekah. Kepergian sang ulama perempuan itu diiringi ribuan masyarakat dan murid-muridnya sampai ke pelabuhan.

Usai beribadah haji, Teungku Fakinah memutuskan menetap lebih dulu di Mekah untuk memperdalam ilmu agama selama sekitar tiga tahun. Pada 1918, Fakinah tiba di Aceh dan disambut meriah.

Hingga wafat pada 1938 dalam usia 82 tahun, Teungku Fakinah mengabdikan sisa hidupnya membesarkan perguruan agama tersebut.

Sekolah tersebut kelak dikenal dengan nama Yayasan Pendidikan Agama Islam Hadjah Fakinah.

  • BAGIKAN
  • line