Operasi Tjakra II; Upaya Pasukan Elite Indonesia Mengusir Kolonial Belanda

Upaya diplomasi Presiden Sukarno dengan Belanda dalam merebut kembali Irian Barat (Papua) menemui jalan buntu. Tak ada cara lain, aksi militer pun disiapkan.
Selasa, 19 Desember 1961, Bung Karno menggaungkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk menggagalkan pembentukan negara boneka Papua, dan mengibarkan Merah Putih di Papua, serta mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Indonesia.
Mendengar mandat tersebut, semangat masyarakat terutama para tentara Indonesia terbakar. Penjajahan Belanda atas Bumi Cenderawasih mesti diselesaikan. Arkian dibentuklah Komando Mandala dengan Mayjen Soeharto sebagai komandannya.
Guna mengukur medan serta kekuatan lawan, bermacam strategi direncanakan. Salah satunya dengan melakukan operasi penyusupan, Operasi Tjakra II pada 15-26 Agustus 1962. Tak mau berbuah lara, beberapa pasukan elite pun dipersiapkan.
Dalam Operasi Tjakra II, Angkatan Laut mengerahkan tiga kapal selam (RI Nagarangsang, RI Trisula, dan RI Tjandrasa) yang berasal dari kelas Whiskey. Kapal selam tersebut merupakan bagian dari pembangunan kekuatan laut pertama yang dirintis trio KSAL Soebijakto, Jos Sudarso, dan Ali Sadikin. Indonesia membeli dari negara sahabat, Uni Soviet, dan tiba di Surabaya pada penghujung 1959.
Pada operasi penyusupan itu, ketiga kapal selam tersebut memiliki titik pendaratan berbeda-beda meski masih berada di Teluk Tanah Merah, Papua. RI Trisula diberangkatkan paling awal karena mendapat pendaratan di titik terjauh.
Rabu, 15 Agustus 1962, Komandan Kesatuan Kapal Selam-15, Kolonel RP Poernomo memerintahkan Mayor Teddy Asikin Nataatmadja untuk menggerakkan RI Trisula menuju Teluk Tanah Merah, Papua.
Atmadji Sumarkidjo dalam Mission Accomplished: Misi Pendaratan Khusus oleh Kapal Selam RI Tjandrasa menjelaskan, keberangkatan kapal selam tersebut merupakan tanda awal dimulainya Operasi Tjakra II. Kapal itu membawa tim DPC (Datesemen Pasukan Chusus) RPKAD (Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat/Kopassus) dan tim ilmuwan.
“Tim pasukan khusus yang naik kapal selam RI Trisula dan RI Nagarangsang nantinya bertugas melakukan sabotase pada pertahanan Belanda di sekitar kota Hollandia atau sekitar lapangan terbang Sentani,” tulis Sumarkidjo.
Sedangkan tim ilmuwan, tulisnya, menyiapkan masyarakat untuk ikut andil dalam sebuah pemerintahan sementara di sekitar ibu kota usai penyerbuan dan pendudukan Biak yang telah diagendakan.
Untuk menghindari deteksi pesawat-pesawat Neptune Belanda yang berpangkalan di Biak, dari pangkalan Teluk Kupa-kupa, Halmahera, RI Trisula bergerak ke timur pada haluan 070 derajat. Selama perjalanan, semua berjalan lancar. Seperti yang diperkirakan.
Sesampainya di utara Hollandia sekira 3 mil dari bibir pantai waktu senja, RI Trisula mulai muncul ke atas permukaan laut. Pada titik ini, para prajurit RPKAD mulai merasakan ketegangan. Mereka sadar, sebentar lagi bakal terjadi baku tembak dengan tentara Belanda.
Dengan sigap, pintu kedap air bagian haluan dibuka. Selanjutnya dua perahu karet dikeluarkan serta dipompa dan meluncurlah tim pasukan komando RPKAD ke pantai. Beruntung tak ada pasukan Belanda di sana dan tim berhasil mencapai daratan dengan selamat.
Namun, samar-samar di kejauhan langit ada kelip cahaya datang mendekat. Hati para kru RI Trisula hampir kendur. Tak dinyana, pesawat intai maritim Belanda, Neptune mendekat. Sebanyak dua kali Neptune menyatroni mereka. Belum cukup rasa kagetnya, kru RI Trisula juga didatangi oleh kapal penghancur milik AL Belanda.
Secepat mungkin metode menyelam cepat (Dive Crash) segera dilaksanakan. RI Trisula langsung meluncur masuk ke dalam air untuk menghindari ancaman dari musuh. RI Trisula bahkan menyelam sampai kedalaman 180 meter di bawah permukaan laut.
Dua jam lamanya kapal penghancur Belanda berputar-putar di atas posisi Trisula berada dan berusaha mendeteksi keberadaan kapal selam tersebut. Bersyukur, RI Trisula berhasil menyelinap pergi dari sana dan kembali ke pangkalan semula.
Meski demikian, para kru kapal agak kecewa karena ada perintah gencatan senjata sesaat setelah merapat di pelabuhan yang berarti pasukan komando RPKAD tak jadi ‘berpesta’ menyabotase aset Belanda di Hollandia dan Sentani.
Aksi Pasukan Katak (Paska)
Selain melibatkan pasukan RPKAD, dalam Operasi Trikora juga melibatkan pasukan elite lainnya, Pasukan Katak (Paska) yang baru dibentuk pada 31 Maret 1962. Pada saat itu, Letkol OP Koesno bertindak sebagai komandannya.
Dalam operasi tersebut, Pasukan Katak bertugas untuk menyusup ke wilayah lawan demi melancarkan serangan sabotase atau menyingkirkan penghalang bagi pendaratan pasukan amfibi.
Seperti dikutip dari Kopaska Spesialis Pertempuran Laut Khusus TNI AL, ketika Operasi Trikora digelar, Paska yang berpangkalan di Teluk Peleng, Sulawesi, sedang dalam kondisi siap siaga. “Berada di Teluk Peleng sambil menunggu perintah.”
Pasukan Paska yang dipimpin oleh Mayor Urip Santosa sempat mendapat kesibukan baru. Hal ini lantaran turun perintah untuk menyiapkan kurang lebih 2 peleton sukarelawan sipil beserta 5 human torpedo (torpedo manusia) untuk misi bunuh diri.
Mayor Urip masih merasa asing dengan senjata ‘torpedo manusia’ itu. Sebab, katanya, belum pernah mendapat briefing khususnya peta operasi dan pendaratan sasaran yang akan dituju.
Berkaitan dengan torpedo manusia itu, Mayor Urip hanya pernah mendengar tentang adanya Proyek Y, yakni torpedo biasa yang diisi dengan 100 kg TNT.
Untuk pemicu ledakannya digunakan mekanisme detonasi yang secara otomatis akan meledak waktu bertabrakan dengan dinding kapal. Dari mekanisme kerjanya, torpedo dibawa menggunakan sebuah speedboat kecil yang digerakan motor tempel 100 TK.
Speedboat itu sendiri dikemudikan oleh seorang pilot yang akan mengarahkan dan membenturkan torpedo pada kapal musuh. Sesaat sebelum torpedo membentur kapal musuh, pilot harus melompat menggunakan kursi pelontar yang sistemnya mirip kursi lontar jet tempur
Mayor Urip yang belum pernah dilibatkan dalam operasi torpedo manusia dan juga tak pernah diberi petunjuk pemakaiannya atau cara operasinya, jelas tak bisa menolak perintah karena sedang berada di garis terdepan.
Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, diam-diam Mayor Urip melakukan uji coba pada sukarelawan dan speedboatnya. Ternyata mesin tempel yang terpasang bukan 100 TK melainkan 50 TK.
Kursi lontar yang katanya terpasang ternyata tidak ada sehingga pilot harus melompat sendiri sebelum torpedo meledak. Tanpa kursi lontar, pilot ‘torpedo manusia’ ini kemungkinan besar akan tewas akibat kedakan TNT seberat 100 kg.
Namun, yang membuat Mayor Urip geleng-geleng adalah mekanisme detonasi yang tidak berfungsi sama sekali. Hal ini terbukti ketika dilaksanakan tes dengan menerjangkan torpedo TNT 100 kg tanpa manusia dalam kecepatan 25 knot ke salah satu tebing karang yang lokasinya berada di teluk yang sunyi.
Ternyata torpedo yang diterjangkan sama sekali tidak meledak. Tapi torpedo tersebut berhasil meledak setelah menggunakan keterampilan khusus dan perangkat demolisi.
Ketika Mayor Urip melaporkan hasil uji cobanya ke Panglima ATA-17, Komodor Sudomo ternyata tidak keluar komentar apa pun.
Meski semua selamat, namun banyak pasukan khusus kecewa lantaran begitu berlabuh mereka baru tahu bahwa ada perintah cease fire (gencatan senjata).
Setelah Trikora berakhir, RI Trisula dan kapal selam-kapal selam lain ikut dalam berbagai operasi militer yang muncul kemudian. Pada masa pemerintahan Soeharto, kapal tersebut kurang mendapat perhatian sebelum akhirnya pensiun.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar