Oerip Soemohardjo, Jenderal KNIL yang Cinta Tanah Air

22 Feb 2020
  • BAGIKAN
  • line
Oerip Soemohardjo, Jenderal KNIL yang Cinta Tanah Air

Oerip Soemohardjo bukan hanya sekadar nama. Bagi Indonesia, ia adalah tokoh militer dan juga pahlawan bangsa. Lelaki yang lahir pada Rabu, 22 Februari 1893, di Sindurejan, Purworejo, itu adalah pejuang yang tak gentar hadapi lawan di medan pertempuran.

Muhammad Sidik, nama kecil Oerip, lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah dan putra tokoh ulama setempat. Sedangkan ibunya merupakan anak perempuan kesayangan Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, Bupati Trenggalek di Jawa Timur kala itu.

Meski terbilang nakal, sejak kecil Sidik telah menunjukkan bakat kepemimpinan yang kuat. Bagi kawan-kawan sebayanya, ia terkenal bukan hanya sebagai kawan, tetapi juga pemimpin. Nama Sidik pun kemudian diganti menjadi Oerip oleh orang tuanya setelah ia terjatuh dari atas pohon.

Setamat sekolah dasar, Oerip dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang, Jawa Tengah. Namun, pada saat ibunya wafat, ia berhenti sekolah untuk mengikuti pendidikan militer Belanda Inlandsche Officier (Sekolah Perwira) di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta).

Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan dua di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tentara pemerintah kolonial Belanda. Meski menjadi bagian dari perwira KNIL, hal itu tak membuat Oerip abai terhadap nasib bangsanya. Oerip tak tinggal diam ketika orang Belanda menghina bangsa dan masyarakat Indonesia.

Tak lama kemudian, Oerip dipensiunkan dari dinas kemiliteran Belanda. Hal tersebut lantaran Oerip menolak keputusan dan tidak mau berkompromi dengan Departemen Perang Belanda, yang dinilainya tidak adil terhadap bangsa.

Setelah Indonesia menggelorakan kemerdekaan, tak dinyana Oerip dicalonkan menjadi kandidat terkuat panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Oerip dicalonkan karena segudang prestasi dan keberaniannya yang di atas rata-rata.

Mengalah demi bangsa

Mendekati masa pemilihan, kandidat lain yang menjadi ‘lawan’ Oerip muncul. Dia tak lain adalah Soedirman. Menariknya, dalam perhelatan tersebut merupakan pertarungan anak Indonesia yang dibesarkan oleh dua bangsa penjajah; Belanda dan Jepang.

Bennedict Anderson dalam buku Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 menjelaskan, Oerip adalah pensiunan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), korps tentara bentukan Belanda yang melibatkan kalangan pribumi. Di KNIL Oerip berpangkat mayor, perwira pribumi dengan jabatan tertinggi.

Sementara, Soedirman merupakan mantan personel Pembela Tanah Air (Peta), merupakan kesatuan militer yang dibentuk oleh Belanda untuk menyingkirkan Belanda dari Indonesia.

Abdul Haris Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas menyebutkan, suasana pemilihan pada 12 November 1945 berlangsung cukup alot. Pemungutan suara tersebut dilakukan dua putaran, dan hasilnya sama-sama kuat. Namun, pada tahap ketiga Soedirman berhasil menang tipis dari Oerip dengan unggul satu suara.

Meski demikian, Soedirman yang lebih muda 23 tahun dari Oerip merasa tak enak hati. Terlebih, Oerip sendiri merupakan atasannya.

Karena itu, jabatan panglima pun rencananya bakal diberikan kepada Oerip. Akan tetapi, pendukung Soedirman menolak. Para mantan anggota Peta itu tidak rela jatah panglima diserahkan kepada Oerip, yang notabene merupakan perwira didikan Belanda.

Menanggapi hal tersebut, Ahmad Syafii Maarif dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan mengatakan, AH Nasution menepis segala dugaan terkait adanya perselisihan antara eks KNIL dengan Peta pada saat pemilihan suara. Oerip Soemohardjo pun mengakui hasil pemilihan tersebut.

Bahkan Oerip mengaku lega saat beban itu telah diamanahkan kepada Soedirman. Oerip juga dengan rela hati saat menerima tawaran Soedirman yang tetap mempertahankan posisinya sebagai Kepala Staf Oemoem (KSO) TKR.

Pada 17 Januari 1948, Oerip tampil sebagai penentang kebijakan pemerintah Indonesia. Menurutnya, jalur diplomasi yang ditawarkan pemerintah terhadap Belanda dinilai merugikan bangsa. Karena itu, ia tetap bergerilya menantang Perjanjian Renville.

Namun, pada 17 November 1948 Oerip terkena serangan jantung. Jenderal Oerip Soemohardjo wafat dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, sebagai tanda jasa atas apa yang telah dia sumbangkan terhadap bangsa dan negara.

Pemerintah juga memberikan penghargaan dengan menaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Anumerta, dan penghargaan tertinggi diberikan dengan mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.

  • BAGIKAN
  • line