Muljadi, Sang Jawara Piala Thomas

Pemain bulu tangkis kelas dunia satu ini, pada masa jayanya sekitar tahun 1960-1970-an, lebih dikenal sebagai pemain tipe rally. Ia yang dikenal sebagai pemain ulet itu, bernama Ang Tjin Siang atau Muljadi dari Rambipuji, Jember, Jawa Timur. Demi kemajuan dunia bulu tangkis, ia berani mengkritik habis-habisan kinerja Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI), bak smash Liem Swie King.
PEMAIN bulutangkis tipe ulet dan bersuara vokal ini adalah Mulyadi (59). Prestasinya di tingkat dunia, dimulai tahun 1964. Saat itu, ia berhasil mempertahankan Piala Thomas Cup di tangan Indonesia. Di partai tunggal (single), ia berhasil menaklukan Heny Bork, pemain asal Denmark, juara All England saat itu.
BACA JUGA: Harry Roesli Seniman Kritis nan Humoris
Ang Tjin Siang yang menjadi “senjata rahasia” Indonesia berhasil menaklukkan Henning Borch (finalis All England 1964) dengan skor 15-10, 15-5. Empat kemenangan lainnya diraih oleh Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, dan ganda Tan King Gwan / A. P. Unang.

Muljadi sukses mengantar Indonesia merebut Piala Thomas.(Dok/wiki commons)
Setelah kalah 3-6 dari Malaysia dalam Piala Thomas 1967, Indonesia kembali berhasil merebut Piala Thomas 1970 setelah menaklukkan Malaysia dengan skor 7-2. Ang Tjin Siang yang menjadi tunggal pertama, berhasil menyumbangkan dua angka kemenangan dengan mengalahkan Punch Gunalan (skor 15-9, 15-5) dan Abdul Rahman Mohamed (skor 15-5, 15-5).
Setelah perebutan Piala Thomas di Jepang itu, kemudian, ia berturut-turut mempertahankan Piala Thomas di Jakarta (1967), di Denmark (1970), dan di Jakarta kembali (1973). Dalam perebutan Piala Thomas tahun 1973 ia berhadapan dengan Svenphree, asal Denmark. Kemenangan itu, sekaligus juga mengakhiri kariernya di dunia bulutangkis. Ia merasa sudah tua. Saat itu, ia sudah berusia 31 tahun.
Ang Tjin Siang, generasi kedua bulutangkis Indonesia setelah Tan Joe Hok, Nyoo Kim Bie, atau Ferry Sanouvile. Ia lahir di Jember, 11 September 1942. Pada tahun 1967, Tjin Siang ganti nama menjadi Mulyadi.
Ia menekuni dunia bulutangkis secara tidak sengaja. Sedari sekolah dasar, ia memang sering bermain-main bulutangkis di kampungnya. Baru sekitar tahun 1955, ia masuk ke perkumpulan bulutangkis. Di sana, ia berhasil menjuarai lomba tingkat lokal.
Saat itu, di Jember belum banyak pemain tingkat nasional, maka tahun 1959, ia pindah ke Surabaya. Di sana, ia bertemu dengan Nyoo Kim Bie dan pemain andal lainnya. Karena latihan yang diikuti begitu keras, ia pun memutuskan berhenti sekolah. Pendidikan terakhir yang ditempuhnya adalah SMP.

Muljadi dikenal sebagai sosok yang tegas dan disiplin.(Dok/wiki commons)
Mulyadi merasa prestasi yang ia peroleh tidak sehebat generasi sesudahnya. Saat itu prestasinya terhambat karena minimnya kesempatan bertanding ke luar negeri. Padahal, usia puncak seorang atlet dicapai pada usia 20-24 tahun.
Meski demikian, ia merasa bangga karena berhasil mempertahankan Piala Thomas tiga kali dan sejumlah prestasi lainnya. Pertandingan yang paling berkesan ialah perebutan piala Thomas di Jepang tahun 1964. Pertandingan itu merupakan debut pertamanya di tingkat dunia, lawan mainnya pun bukan pemain sembarangan. Heny Bork adalah juara All England kala itu. “Saat itu, benar-benar tidak terduga bisa menang,” ujar Muljadi.
Muljadi atau Ang Tjin Siang tidak usah diragukan. Keberanian ia mengkritik PBSI, semata-mata untuk meningkatkan dunia perbulutangkisan di Tanah Air. Ia bukan orang yes man, atau cari selamat.
Tokoh satu ini yakin, bahwa dunia bulutangkis di Indonesia akan maju pesat jika persoalan kontrak kolektif yang selama ini meresahkan pemain segera dibereskan. Kalau itu dibereskan, ia juga yakin kemajuan bulu tangkis Indonesia akan jauh lebih pesat dari Cina.

Usai pensiun Muljadi memilih tinggal di tempat kelahirannya, Jember, Jawa Timur.(Dok/PBSI)
Menurutnya, yang mengembangkan dunia perbulutangkisan di Cina pun orang Indonesia. Pada tahun 1950-an, jelasnya, di Cina belum ada bulutangkis. Olahraga ini belakangan berkembang, setelah sejumlah pemain dari Indonesia pulang ke Cina karena PP10.
Sebagai warga keturunan Tionghoa, ujarnya, dengan rendah hati, hanya itu yang kami bisa sumbangkan.
Mengisi masa tuanya, Muljadi sehari-hari mengurusi Bank Perkreditan Rakyat yang didirikannya dan juga mengurusi toko alat- alat tulis di Jalan Gatot Soebroto. Ia ditemani empat orang putrinya Arya (26), Erwin (24), Hani (22), dan Feni (20). Beserta istrinya Lina (52).
Ang Tjing Siang terkesan benar-benar olahragawan sejati. Bicaranya jujur, lugas. Yang benar dikatakan benar, yang salah dibilang salah. Ia meninggal dalam usia 68 tahun di RS Malang, Jawa Timur pada tanggal 14 Maret 2020. Hingga kini Muljadi tetap dikenang salah satu tunggal putra terbaik Tanah Air.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar