Momen Menegangkan Fatmawati Ketika Bung Karno Diculik

Selama hidup bersama Bung Karno, Fatmawati kerap mengikuti langkah sang suami berpindah satu tempat ke lain tempat keliling Indonesia, saat susah maupun senang.
Bu Fat pun sering bertemu dengan tokoh-tokoh sepuh berpengaruh selaik Kiai Mansyur, Ki Hajar Dewantara, dan Sartono.
Sementara dengan para pemuda, Bu Fat lantas semakin sering berhadap-hadapan saat masa-masa genting jelang proklamasi.
Memasuki bulan Juni hingga Agustus 1945, kedamaian rumah di Peganggsaan Timur 56 berubah menjadi setumpuk bara api sejarah bangsa. Berita kekalahan kolonial Jepang di seluruh front Pasifik mulai terdengar di Indonesia.
Sementara itu, dari pihak Indonesia kegiatan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sudah dimulai. Barisan golongan tua dan golongan muda tengah bersiap ambil bagian memercik kemerdekaan.
Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno mengungkapkan, pada hari-hari pertama bulan Agustus dan menjelang 14 Agustus, kolonial Jepang bertekuk lutut kepada tentara Sekutu. “Aku yakin Bung Karno ada dalam suasana mempersiapkan ‘sesuatu’,” tulisnya.
Rabu, 15 Agustus 1945, jam 2 siang, Fatmawati mengatakan Sutan Sjahrir bersama golongan muda menemui Bung Karno. Kedatangannya tak lain untuk menyampaikan berita kekalahan Negeri Sakura itu. “Kemudian timbul pembicaraan antara mereka, tindakan dan sikap apa harus diambil”.
Selain itu, Fatmawati juga mengatakan, pada saat genting itu terjadi perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua berkait teknis proklamasi kemerdekaan.
Golongan muda menginginkan Bung Karno dan Bung Hatta segera mendeklarasikan kemerdekaan. Tapi tidak dengan Bung Karno, lebih memilih membahas terlebih dahulu bersama PPKI.
Ketika Bung Karno “Diculik”
Setelah mendengar keputusan Bung Karno, para pemuda meninggalkan Peganggsaan Timur 56. Hal itu tak membuat Fatmawati tenang, justru sebaliknya. “Hatiku agak gelisah apakah gerangan yang akan terjadi dengan kekecewaan para pemuda,” tulis Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Sementara itu, Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menggambarkan betapa kegelisahan menyeruak hati bapak proklamator tersebut. “Aku tidak bisa tidur dan duduk di ruang makan sendiri makan sahur,” kata Bung Karno seperti yang ditulis Cindy Adams.
Kamis, 16 Agustus 1945, Bu Fat pada saat sahur terdengar suara sayup-sayup mendesir dari balik semak-semak. Tak disangka segerombolan pemuda berpakaian seram dengan diam-diam menggeruduk rumah Bung Karno.
Dengan menyandang pistol dan sebilah pisau panjang, mereka memaksa Bung Karno untuk meninggalkan rumah. “Berpakaianlah, Bung…. Sudah tiba saatnya,” kenang Fatmawati.
Melihat keadaan berubah mencekam, Guntur balita terbangun. Tak lama kemudian, Bung Karno menghampiri kamar Fatmawati untuk menenangkan istri dan putranya.
“Fat, ikut apa tinggal?” tanya Bung Karno kepada istrinya.
Dengan bernas, Bu Fat mengiyakan untuk turut bersama Bung Karno. Mereka pun menyiapkan pakaian secukupnya. “Aku kenakan pada bayiku Baby Caps. Guntur kugendong dengan selendang panjang,” kata Fatmawati.
Di luar pagar, kata Fatmawati, sudah ada sedan Fiat berwarna hitam. Tak disangka, di dalam mobil itu ternyata sudah ada Bung Hatta. Mereka pun duduk bersempitan di belakang. Golongan pemuda “penculik” Dwi Tunggal, seperti Sukarni duduk di bangku depan bersama Winoto Danuasmoro.
Perasaan khawatir begitu menyelimuti hati Fatmawati di pagi buta. Baru beberapa kilo melaju, Bu Fat lupa membawa bekal susu untuk sang bayi. Mereka pun kembali ke rumah pegangsaan.
Akhirnya, tepat jam 6 pagi mereka telah sampai di tempat tujuan, Rengasdengklok. Mereka, menurut Bu Fat, dibawa menuju sebuah rumah di sebuah desa terpencil. “Di sanalah kami dibawa. Hingga akhirnya, Achmad Soebardjo menjemput kami pada pukul 5 sore.”
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar