Menikmati Eksotika Seni Pahat Suku Asmat

Lazimnya karya seni merupakan hasil ekspresi jiwa yang dilatarbelakangi oleh budaya setempat sehingga mampu menggambarkan kearifan lokal dan keindahan lingkungannya.
Untuk seniman tradisional yang belum tersentuh budaya asing, justru lebih banyak menciptakan karya budaya kolektif.
Karya budaya itu dapat mewakili cipta, rasa, dan karsa kelompok suku atau etnis, seperti yang dilakukan Suku Asmat, Papua.
Bagi mereka, seni pahat kayu merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Memahat adalah kegiatan yang telah turun temurun sehingga menjadi suatu kebudayaan yang bukan saja dikenal di Papua dan Indonesia, melainkan dunia.
Selain unik, ciri khas seni pahat Suku Asmat memiliki pola yang bersifat naturalis. Rumitnya pola-pola tersebut, membuat karya ukir Suku Asmat bernilai tinggi dan diburu turis asing penggemar karya kesenian dan kebudayaan.
Menurut penggemar seni, ukiran Suku Asmat memiliki pola dan ragam yang sangat banyak. Seperti patung model manusia, binatang, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari sampai ukiran tiang.
Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka. Seperti pohon, perahu, binatang dan orang berperahu atau pemburu.
Menilik potensi yang besar dan perkembangan yang pesat seni pahat Suku Asmat, ditinjau dari khazanah seni dan budaya bangsa kita sangat membanggakan.
Dari sudut sosial ekonomi dan kepariwisataan, pun merupakan potensi yang cukup besar.
Ritual Seni Pahat
Menciptakan karya seni rupa tiga maupun dua dimensi dari kayu merupakan salah satu keahlian Suku Asmat. Menurut para ahli karya ukiran dan patung kayu yang dihasilkan menggambarkan sejarah dari Suku Asmat.
Menurut Dirk Smidt dalam Asmat Art: Woodcarvings of Southwest New Guinea menjelaskan, keterampilan mengukir yang dilakukan suku Asmat sesungguhnya sarat dimensi spiritual.
Pada hakikatnya, kata Smidt, hal tersebut merupakan salah satu cara mereka berkomunikasi dengan para leluhur di alam lain.
“Merujuk konsep kosmologi orang Asmat, sesudah hidup di ow capinmi (alam kehidupan sekarang), tiap manusia akan melewati dampu ow capinmi (alam roh yang meninggal), sebelum akhirnya memasuki safar (alam surga),” tulis Smidt.
Adapun contoh hasil karya tradisional mereka yang sarat akan spiritual adalah Bisj, tiang kayu yang mewakili para leluhur yang telah meninggal dunia.
Tiang Bisj, masih menurut Smidt, tersusun dari dua figur leluhur atau lebih yang diukir bertingkat atas-bawah.
Pada awalnya, Bisj dibuat sebagai perlengkapan dalam upacara tradisional pemenggalan kepala dan kanibalisme para musuh yang berhasil dikalahkan agar arwah leluhur tenang.
“Namun, oleh pemerintah RI upacara ini dilarang, sehingga kini tradisi Bisj sudah memudar dan mulai terlupakan orang,” tulisnya.
Di samping itu, sistem religi yang mereka yakini bahwa semua keturunan Suku Asmat adalah anak dewa yang berasal dari dunia gaib dan diletakkan pada tempat matahari terbenam.
Mereka menghormati nenek moyang dan memercayai keberadaan nenek moyang akan bersemayam pada sebuah patung.
Dalam mitologi masyarakat Asmat, mereka memercayai bahwa nenek moyongnya (Dewa Fumeripits) yang berasal dari dunia mistik tersebut, zaman dahulu mendarat di bumi pada daerah pegunungan.
Dalam kehidupan sehari–hari, orang-orang Asmat meyakini adanya 3 golongan roh yang ada disekitar lingkungan hidup manusia.
Ketiga roh tersebut adalah Yi-ow (roh yang bersifat baik), Osbopan (roh jahat penghuni sesuatu), dan Dambin (roh jahat yang mati konyol).
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar