Mengenal Suku Tertua di Tanah Flores

3 Feb 2020
  • BAGIKAN
  • line
Mengenal Suku Tertua di Tanah Flores

Tak hanya kelompok terbesar, sebagian kalangan juga meyakini bahwa Lio merupakan suku tertua di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Wilayah pemukiman orang Lio sekarang menjadi wilayah beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Ndona, Kecamatan Detusoko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Mourole, yang merupakan bagian dari Kabupaten Ende.

Di Flores, orang Lio bertetangga dengan beberapa suku lain seperti Ende, Sikka, dan Ngada.

Dilihat dari kebudayaannya, orang Lio tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kebudayaan orang Ende, Sikka, Ngada, Riung, dan Nagekeo.

Meski demikian, perbedaan kebudayaannya agak lebih berbeda dengan kebudayaan orang Manggarai dan orang Lamaholot.

Perbedaan itu juga tampak dari ciri-ciri fisik orang Lio dan beberapa suku lain, yang menunjukkan ciri Melanesoid. Sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri Mongoloid-Melayu.

Pola perkampungan suku Lio

Orang Lio lazimnya berdiam dalam kampung-kampung yang disebut Nua. Satu kampung biasanya dihuni oleh kelompok-kelompok atau klan yang anggotanya masih ada hubungan kerabat.

Sesuai dengan tradisi, kampung suku Lio terdiri dari beberapa unsur bangunan, lapangan tempat upacara, beberapa unsur bangunan batu yang juga terkait dengan upacara atau persembahan sesuai dengan sistem kepercayaan leluhur.

Unsur bangunan penting dalam sebuah kampung ialah rumah adat yang disebut Sao Ria.

Rumah adat ini berupa bangunan berbentuk panggung dengan ukuran relatif besar. Bangunan tersebut tidak dilengkapi jendela, karena atap rumah itu membentang dari atas sampai ke batas dinding bagian bawah.

Kolong rumah disebut Lewu, berfungsi menjadi kandang hewan seperti babi, ayam, anjing.

Adapun pada ruang bagian atas yang dinamakan One menjadi tempat hunian pemiliknya dan ada sebuah ruangan khusus (Padha) sebagai tempat menyimpan benda-benda upacara.

Bangunan lainnya adalah Kedha atau Bhaku berupa bangunan kecil tanpa dinding yang terletak di depan rumah adat tersebut. Bangunan itu berfungsi sebagai tempat pertemuan informal atau menerima tamu yang berasal dari luar kampung.

Kompleks perkampungan Lio juga dilengkapi dengan lumbung pangan (Kebo) yang dimiliki oleh setiap keluarga. Agak lebih jauh dari rumah adat berdiri sebuah bangunan kecil (Lewa) sebagai tempat memasak daging hewan-hewan besar dalam rangka pesta atau upacara adat.

Di depan rumah adat, biasanya ditancapkan sebuah tonggak kayu (Saga) yang tingginya sama dengan lantai Sao Roa. Di atas tonggak kayu itu ditaruh sebuah batu ceper bulat tempat, menaruh persembahan sirih-pinang bagi Du’a Ngga’e.

Di depan Sao Ria dan Kedha ada pelataran bunder yang dikelilingi pagar batu. Di tengah pelataran itu ada pula dua buah batu.

Batu yang berdiri tegak di sebut Tugu Musu yang melambangkan hubungan langit dan bumi. Di sampingnya terletak batu ceper yang disebut Musu Mase yang merupakan tempat menaruh persembahan bagi nenek moyang.

Sementara, pada bagian tengah pelataran terdapat sebuah kuburan khusus bagi Ine Ame atau kepala adat selama menanti dimasukkan ke dalam peti yang tetap yang disebut Bhaku. Keseluruhan pelataran tersebut dianggap sebagai tempat suci.

Namun, pada tahun belakangan ini pola perkampungan orang Lio sudah mulai berubah yang ditandai dengan berdirinya bangunan rumah dengan arsitektur baru karena pengaruh luar.

Kecenderungan tidak lagi mendirikan rumah dengan arsitektur tradisional dengan alasan biaya pembangunannya yang lebih mahal dibandingkan dengan rumah model baru.

Pembangunan rumah tradisional itu harus diiringi dengan upacara-upacara yang membutuhkan biaya.

Sedangkan pemerintah daerah setempat mengimbau masyarakat untuk tetap mempertahankan arsitektur tradisional itu untuk kepentingan pariwisata, misalnya di Moni sebagai pusat wisata di sekitar Kelimutu.

Dalam hal kepemimpinan suku dikenal beberapa unsur. Selain kepala suku, ada unsur Ata Laki yang berperan sebagai pengawal atau penjaga tanah, juga dalam menyelenggarakan upacara adat yang berhubungan dengan pertanian dan siklus hidup manusia.

Kemudian Ria Bewa adalah orang yang berperan sebagai penjaga berfungsinya hukum adat, sebagai hakim yang menyelesaikan berbagai perkara terutama yang menyangkut masalah tanah.

Ia juga berperan sebagai panglima perang yang menjaga batas tanah suku yang dipertahankan dari gangguan musuh.

Kepemimpinan adat yang merupakan sebuah dewan yang bertanggung jawab atas keutuhan dan kesejahteraan masyarakat Lio disebut Mosalaki.

Agama dan kepercayaan suku Lio

Sistem kepercayaan dari leluhur masyarakat Lio mengenal kekuasaan tertinggi yang menciptakan alam dan manusia, bernama Ndu’a Ngga’e.

Sedangkan Ndu’a Ngga’e memiliki arti, “Yang tua atau yang berumur, yang berbudi luhur dan murah hati”.

Nama tersebut sebenarnya punya sebutan yang panjang, yakni “Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana, yang berarti “Yang tua, yang tinggal jauh di atas, di balik bulan, berbudi luhur, yang tinggi jauh di bawah di dalam bumi”.

Kekuasaan tertinggi adalah sesuatu yang tidak kelihatan dan sukar dipahami, namun dapat dialami dalam berbagai peristiwa, seperti kelahiran, kematian, panen yang melimpah, dan bencana kelaparan.

Selain kekuasaan tertinggi, mereka juga percaya kepada adanya roh-roh (Nitu).

Roh itu ada yang bersifat baik dan melindungi, misalnya Nitu Dai sebagai roh pelindung rumah; Nitu Nua sebagai roh pelindung kampung; Nitu Ae adalah roh pelindung air dan sungai; Nitu Ngebo adalah roh pelindung hutan.

Di samping itu ada roh yang jahat dan merusak, misalnya Nitu Ree roh yang berkeliaran di sekitar perkampungan yang merusak kebun; Nitu Longgo Mbega roh yang suka mencelakakan anak-anak; Ulu Ree adalah roh yang menggoda pria dan wanita agar berbuat zina.

  • BAGIKAN
  • line