Mengenal Bapak Sang Putra Fajar, Raden Soekemi Sosrodihardjo

Tak ada yang lebih bahagia dari kebahagiaan seorang ayah membesarkan dan mendidik anaknya menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Hal inilah yang meliputi Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ayah Presiden Pertama Indonesia Sukarno ini layak berbangga atas apa yang telah ditorehkan sang anak terhadap bangsa dan negaranya.
Mungkin tak banyak yang mengenal sosok yang satu ini. Raden Soekemi Sosrohihardjo adalah seorang guru di Surabaya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendidik anak-anak pribumi.
Nama aslinya adalah Sosrodihardjo dengan nama alias Soekemi. Soekemi alias Raden Sosrodihardjo kelahiran distrik Wirosari Kabupaten Grobogan, pada 15 Juni 1873. Raden Soekemi Sosrodihardjo, merupakan seorang guru lulusan Kweekschool atau sekolah guru Probolinggo dan pernah mengajar di beberapa kota di Jawa Timur.
BACA JUGA: Brokoli Cegah Penuaan Dini
Soekemi adalah salah satu anak dari Raden Hardjokromo, yang masih tergolong priayi kecil. Dalam autobiografinya yang disusun Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011), Sukarno mengaku bahwa ayahnya keturunan raja Kediri.

Raden Soekemi Sosrodiharjdo bersama istrinya Ida Ayu Nyoman Rai.(Dok/ANRI)
Soekemi muda pernah jadi guru di Singaraja, Bali dan menikahi Ida Ayu Nyoman Rai pada 1897. Pasangan Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai beroleh anak pertama mereka pada 13 Maret 1898 di Singaraja, Bali.
Pasangan suami-istri beda suku dan agama ini akhirnya tinggal di Surabaya. Tepatnya di Pandean, yang kini masih jadi bagian Kampung Paneleh, di tepi Kali Mas.
Menurut Molly Bondan dalam Molly Bondan: Pengabdian pada Bangsa(2008), Soekemi mendidik anaknya dengan ajaran itu sejak awal masa sekolah. Soekemi punya pergaulan luas dengan para anggota gerakan Teosofi di Indonesia, termasuk di Surabaya, adalah orang-orang berpengaruh.
Karena itu, dia bisa dapat koneksi bagi masa depan pendidikan Sukarno. Tidak cuma bisa masuk sekolah elite seperti Europe Lager School (ELS), tapi juga bisa mengakses perpustakaan kaum Teosofi.
Pada tanggal 28 Desember 1901, Soekemi menerima besluit untuk di pindah tugas ke kecamatan Ploso di Jombang sebagai Mantri Guru. Lingkungan Ploso pada masa itu masih sangat desa sekali. Selanjutnya pada tanggal 23 November 1907, ia menerima besluit dari Kementrian Pendidikan Kolonial Belanda di Batavia untuk di pindah tugas ke Sidoarjo kota kecil pada waktu itu yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Surabaya.

Raden Soekemi berprofesi sebagai seorang mantri guru.(Dok/ANRI)
Pada tanggal 22 Januari 1909, Soekemi menerima besluit lagi untuk dipindah tugas ke Mojokerto, selanjutnya di pindah tugas lagi ke Blitar sebagai guru di Normaalschool berdasarkan besluit tertanggal 2 Februari 1915 dari Batavia.
Sukarno masih kecil ketika Soekemi ditugaskan ke Mojokerto, lalu ke Blitar.Kala Sukarno masih berusia 15 dan Soekemi sudah berdinas di luar Surabaya, sang bapak menginginkan anaknya dapat belajar di sekolah menengah elite macam Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Soekemi pun mengirim anaknya ke pondokan milik kolega lawasnya, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soekemi mengirim Sukarno ke tempat yang tepat. Putranya itu akhirnya dikenal sebagai anti-Belanda, bahkan menjadi musuh pemerintah kolonial.
Pada era penjajahan Jepang, Soekemi melihat anaknya sudah jadi orang yang terkemuka di Jawa. Sukarno pernah mengeluh soal gaji Soekemi yang 25 gulden sebulan ketika Sukarno masih kecil. Selama bekerja di lingkungan pendidikan kolonial, ayahnya pernah menjadi mantri guru, yang penghasilannya lumayan, hingga Sukarno bisa bersekolah tinggi.

Sukarno berpose bersama sang ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo.(Dok/ANRI)
“Bagi seorang Mantri Guru hal itu mungkin, sampai juga dapat membiayai puteranya bersekolah di Technische Hogeschool di Bandung, di mana uang kuliahnya fl. 25. setiap bulannya,” tulis Moehammad Roem, dalam Bunga Rampai dari Sejarah.
Sukarno berhasil jadi orang berpendidikan setara orang Belanda karena Soekemi.
Keterlibatan Sukarno dalam pergerakan nasional, sengaja atau tidak, juga karena Sukemi. Jadi Inggit Garnasih bukan satu-satunya orang yang mengantarkan Sukarno ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Soekemi malah lebih dahulu mengantarkan Sukarno pada kemajuan, dengan mengirim ke sekolah belanda dan pondok Tjokroaminoto.
Pada saat ke Jakarta merupakan perjalanan yang terakhir dari Soekemi, pada saat itu ia diminta datang ke Jakarta oleh putranya Soekarno untuk melihat kelahiran Cucunya yang pertama Guntur. Saat berjalan-jalan menghirup hangatnya udara Jakarta, Soekemi terjatuh dan sakit keras sampai meninggal pada tanggal 18 Mei 1945.
Ayah Putra Sang Fajar itu tak sempat menyaksikan Sukarno tampil mewakili seluruh rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah tujuan yang telah lama diperjuangkannya sejak menjadi guru Belanda hingga akhir hayatnya.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar