Masjid Merah Panjunan, Jejak Migrasi Bangsa Arab di Cirebon

Peran bangsa Arab sangat berpengaruh dalam pembangunan Cirebon.
Hal tersebut terbuktikan dengan adanya beberapa peninggalannya yang saat ini menjadi salah satu situs warisan budaya daerah.
Dalam mengawal pembangunan Cirebon, bangsa Arab kala itu tinggal di daerah Panjunan, atau sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Arab.
Kampung Panjunan diyakini menjadi awal mula Arab datang dan beraktivitas di wilayah pesisir utara atau pantura Jawa Barat.
Budayawan Cirebon Nurdin M Noor menjelaskan keberadaan bangsa Arab di Cirebon diperkuat dengan adanya peninggalan Masjid Merah Panjunan.
Menurut data pada Disporabudpar Kota Cirebon tahun 2006, pembangunan Masjid Merah Panjunan berkaitan dengan migrasi keturunan Arab di Cirebon sekitar abad ke-15.
“Dalam Babad Cirebon dikisahkan, Syarif Abdurakhman dan ketiga adiknya diperintah ayahnya Sultan Baghdad untuk bermigrasi ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Mereka adalah Syarif Abdurakhim, Syarif Kahfi, dan Syarifah Bagdad. Daerah tujuan mereka adalah Cirebon,” kata Nurdin.
Menurut kisah, Masjid Merah Panjunan didirikan oleh pangeran bernama Panjunan.
Dia bersama Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Majagung, Syekh Maghribi, dan para gegedeng menghadap Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana untuk meminta izin membangun masjid sebagai tempat bermuaranya penyebaran agama Islam di Cirebon.
Atas izin Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana, maka Pangeran Panjunan diberi wewenang untuk menjabat sebagai Nata Cirebon memangku Keraton Pakungwati.
Berawal dari sejarah tersebut Pangeran Panjunan memimpin dan mengayomi masyarakat Panjunan dengan memberikan masyarakat berupa tanah liat.
Oleh masyarakat setempat kemudian dibuat gerabah, kampung ini dinamakan Panjunan yang berarti tempat pembuatan gerabah dari tanah liat.
Dia mengatakan, Masjid Merah merupakan tajug atau surau yang menjadi tempat peribadatan kedua, setelah Sasjid Pejlagrahan yang berada di Kampung Siti Mulya (sebelah timur Keraton Kasepuhan).
“Disebut Masjid Merah atau abang dalam bahasa Jawa Cirebon, karena seluruh bangunannya terbuat dari bata merah,” katanya.
Masjid Merah hanya digunakan untuk salat lima waktu dan acara pengajian rutin. Sedangkan untuk salat Jumat, hanya ada di masjid agung dan masjid-masjid lainnya.
Pada masa Sunan Gunung Jati, surau ini kerap digunakan untuk pengajian dan musyawarah para wali.
Ketika Kesultanan Cirebon diperintah Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati), pada sekira tahun 1549, halaman masjid dipagar dengan kuta kosod.
“Pada pintu masuk dibangun sepasang candi bentar dan pintu panel jati berukir,” ucap Nurdin.
Di Cirebon, lanjut Nurdin, mereka berguru kepada Syekh Nurjati di Pesambangan Gunung Jati.
Oleh Syekh Nurjati mereka diperkenalkan kepada Pangeran Cakrabuwana.
Setelah diterima dengan baik, Pangeran Cakrabuwana memerintahkan Syarif Abdurakhman untuk membangun pemukiman yang sekarang dinamai Panjunan.
Sedangkan Syarif Abdurakhim membangun pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Kejaksan.
“Kalau Syarif Abdurakhman dikenal dengan nama Pangeran Panjunan yang membangun Masjid Merah, sementara Syarif Abdurakhmin dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan,” ujar dia.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar