Kisah Heroik I Gusti Ngurah Rai

Bagi masyarakat Bali, I Gusti Ngurah Rai bukan hanya sosok pahlawan nasional. Ia juga dihormati karena rasa cintanya terhadap tanah kelahiran, Pulau Dewata.
Prinsip hidup Ngurah Rai akan membuat siapa pun merinding. Pasalnya, ia lebih baik mati daripada tunduk di tangan penjajah.
Karier militernya dimulai saat menempuh pendidikan calon perwira kemiliteran milik Hindia Belanda di Gianyar, Bali. Di sana Ngurah Rai masuk di korps Prajoda yang memang diisi oleh anak bangsawan pribumi.
Setelah lulus dengan pangkat letnan dua, Ngurah Rai melanjutkan sekolah di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang. Kemudian berlanjur ke Akademi Pendidikan Arteri di kota yang sama.
Saat pemerintahan Jepang, ia tak bergabung dalam kemiliteran. Ia bekerja sebagai Mitsui Hussan Kaisya, perusahaan yang bergerak di bidang pembelian padi rakyat.
Namun, saat itu diam-diam ia mengumpulkan para pemuda Bali dan membentuk Gerakan Anti Fasis (GAF).
Pria kelahiran 30 Januari 1917 ini memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Bersama pasukannya tersebut, Ngurah Rai bertempur melawan penjajah.
Pertempuran tersebut dikenal dengan nama Puputan Margarana. Puputan dalam bahasa Bali artinya habis-habisan, sedangkan Margarana berarti pertempuran di Marga, sebuah desa di Kabupaten Tabanan.
Pasukan Ciung Wanara dibentuk Ngurah Rai setelah Indonesia merdeka dan bergabung dengan angkatan perang RI.
Saat itu, ia ditunjuk untuk menduduki posisi komandan resimen Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara).
Di bawah kepemimpinan Ngurah Rai, Ciung Wanara sangat disegani. Sayangnya, hal tersebut tak terjadi ketika Ngurah Rai menginggalkan Bali untuk sementara waktu.
Saat itu, anak kedua dari pasangan I Gusti Ngurah Patjung dan I Gusti Ayu Kompyang sedang pergi ke Yogyakarta untuk berkonsultasi ke markas besar TKR.
Namun, Belanda datang kembali dan melakukan pendaratan di Bali pada awal Maret 1946. Ciung Wanara sebenarnya melakukan perlawanan. Namun, tanpa arahan Ngurah Rai, mereka kocar-kacir digempur pasukan Belanda.
Ngurah Rai kembali, ia mempersiapkan tentaranya. Ajakan kerja sama dari Belanda ditolak mentah-mentah, hingga terjadilah pertempuran bernama Puputan Margarana tanggal 20 November 1946.
Saat itu, Ngurah Rai dan pasukan Ciung Wanara bertempur habis-habisan. Banyak yang gugur termasuk Ngurah Rai.
Atas jasanya tersebut, saat pemerintahan Soeharto, I Gusti Ngurah Rai dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional tanggal 9 Agustus 1975.
Ia juga mendapat kenaikan pangkat menjadi brigadir jenderal (Anumerta). Namanya juga dijadikan sebagai nama Bandara Internasional di Bali. Saat ini, kamu bisa melihat gambar Ngurah Rai dalam pecahan uang Rp 50 ribu.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar