Kisah Haru Sultan Kutai Kertanegara Usai Indonesia Merdeka

Sebelum Indonesia masih belum berbentuk republik, ada banyak kerajaan-kerajaan yang tersebar di berbagai daerah. Misalnya Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura), sebuah kerajaan yang berdiri di Kalimantan Timur.
Kerajaan bercorak Islam ini sudah ada jauh sebelum penjajah Belanda datang menyerang Nusantara.
Kesultanan Kutai berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti, putra dari Patinggi Jahitan-Laya. Hingga akhirnya Kesultanan Kutai resmi masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia setelah merdeka selama 15 tahun.
Aji Muhammad Parikesit adalah Sultan Kutai Kartanegara ke-19 sekaligus yang terakhir.
Ia menjadi saksi peleburan kerajaan yang telah dibentuk oleh leluhurnya menjadi salah satu wilayah Indonesia. Masa pemerintahan Parikesit di Kutai cukup panjang mulai 1920 hingga 1960.
Sebenarnya pada tahun 1947, Kesultanan Kutai sudah tak berbentuk kerajaan melainkan Daerah Swapraja Kutai dan masuk ke wilayah Federasi Kalimantan Timur.
Namun, pada saat itu sistem yang dipakai masih mirip dengan sistem kerajaan. Kemudian melalui Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai tahun 1960, barulah wilayah ini menjadi bagian dari Indonesia.
Parikesit dinobatkan menjadi sultan ketika ia berusia 25 tahun kurang sepekan, tepatnya tanggal 16 November 1920.
Sebenarnya, ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya Aji Muhammad Sulaiman sudah wafat. Akan tetapi, Parikesit tak segera naik takhta karena harus menyelesaikan pendidikan di sekolah jurusan pemerintahan milik Belanda di Serang Jawa Barat bernama OSOVIA.
Selama masa pemerintahannya, Parikesit dibantu oleh tiga orang menteri. Kekuasaan Kesultanan Kutai saat itu terdiri dari tiga onderafdeling Kutai Barat, Kutai Timur, dan Balikpapan.
Dari tiga wilayah tersebut, terbagi lagi menjadi 17 distrik di setiap onderafdeling.
Sukses memupuk kekayaan
Satu hal yang menarik, selama menjadi sultan, Parikesit sukses memupuk kekayaan. Ia gemar mengoleksi barang-barang mahal. Parikesit punya satu kapal pesiar dan tiga buah mobil: dua mobil pabrikan Amerika, satu mobil buatan Eropa.
Akan tetapi, dilansir dari kaltimkece.id, saat itu Kesultanan Kutai sama sekali tak memiliki jalan yang bisa dilalui kendaraan.
Gaji Parikesit saat menjadi sultan memang tidak sedikit. Setiap bulan ia mendapat 7.000 gulden atau setara dengan Rp518 juta jika merujuk pada harga emas pada tahun yang sama.
Belum lagi uang yang didapat dari biaya tahunan Belanda sebesar 30.500 gulden atau sekitar Rp 2,2 miliar. Atas biaya yang dikeluarkan Belanda setiap tahunnya, mereka mendapat sebagaian hak atas tanah di sepanjang Sungai Mahakam.
Kekayaan yang melimpah ini tidak ia makan sendiri. Gaji anggota kabinet per bulan lebih dari setengah gajinya yakni 3.500 gulden atau sekitar Rp259 juta.
Pejabat yang lebih rendah bisa mendapatkan 1.000 gulden atau Rp74 juta sebulan. Gaji ini bahkan lebih tinggi dari gaji para bangsawan Hindia Belanda.
Parikesit semakin tersohor setelah ia meminjamkan uang untuk pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia.
Pinjaman ini juga ia berikan kepada kesultanan-kesultanan yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Ia juga sempat merombak istananya dari berbahan kayu ulin dengan beton. Istana ini dirancang oleh arsitek bernama Estourgie.
Menjadi rakyat biasa
Pidato Parikesit di Lapangan Kinibalu, Samarinda pada 23 Januari 1950 adalah awal Kesultanan Kutai masuk ke Indonesia.
Saat itu, Parikesit secara terbuka menyampaikan kerajaannya menyetujui kedaulatan Republik Indonesia. Hal itu tercatat dalam buku Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999.
Kemudian, 10 tahun setelah pidato Kesultanan Kutai resmi berakhir. Parikesit dengan sukarela membubuhi tanda tangan di atas perjanjian serah terima dengan wali kota pertama Samarinda, Soedjono.
Pada saat itu pula berakhirlah masa kekuasaan Kesultanan Kutai Kartanegara yang berusia 659 tahun. Gelar sultan yang disandangnya sejak tahun 1920 telah ia lepas.
Parikesit menjadi masyarakat biasa di usia 65 tahun yang hidup di bawah pemerintahan Republik Indonesia. Nahasnya, inilah awal Parikesit mengalami kesulitan hidup.
Empat tahun setelah penyerahan kekuasaan, Parikesit malah ditangkap oleh angkatan bersenjata. Ia dituduh akan menghidupkan kembali pemerintahan feodal.
Selain Parikesit, beberapa bangsawan yang diringkus adalah Gubernur Fomler dan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, gubernur pertama Kalimantan Timur.
Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman Kolonel Suhario Padmodiwiryo adalah otak penangkapan itu.
Dalam buku Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kertanegara, Kolonel Suhario bahkan berencana membakar Istana Tenggarong, seperti halnya keraton Kesultanan Bulungan yang ia musnahkan beberapa tahun sebelumnya.
Beruntung niat pembakaran tersebut diketahui oleh Gubernur Kaltim Abdoel Moeis Hassan.
Istana Tenggarong akhirnya bisa diselamatkan. Kini bangunan tersebut telah dijadikan museum bernama Museum Mulawarman.
Dari kaya raya hingga jatuh miskin
Lima tahun setelah penangkapan, Parikesit akhirnya dibebaskan. Namun, selama penahanan, mantan Sultan Kesultanan Kutai ini kehilangan semua usahanya.
Ia pun terpaksa menjual seluruh harta bendanya karena himpitan ekonomi. Pernah ada kabar seseorang Amerika mengangkut barang antik dari Kutai dengan tiga helikopter.
Sebenarnya ia pernah mencoba kembali memulai usaha di sektor kehutanan. Tahun 1967, ia mengajukan permohonan untuk mengelola hutan atau HPH kepada rezim Soeharto.
Tak banyak, saat itu ia hanya meminta izin untuk 50 hektare lahan. Sayangnya, izin tersebut tak pernah diterbitkan hingga ia mengembuskan napas terakhirnya pada 22 November 1981.
Parikesit memang mendapat subsidi setiap bulannya sebesar Rp100 ribu. Namun, uang yang diterima ini tak jelas apakah bentuk penggantian izin pengelolaan yang hilang atau karena bekas seorang sultan.
Dilansir dari kaltimkece.id, kabar terakhir Parikesit menerima uang pensiun sebesar Rp18 ribu per bulan.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar