Ketika Ki Bagus Hadikoesoemo Tegakkan Syariat Islam

Pendidikannya tak lebih dari sekolah rakyat (kini disebut SD). Namun, berkat ketekunan mengaji dan belajar kitab-kitab fikih dan tasawuf, lelaki ini berhasil menjadi mubalig dan pemimpin umat.
Tak hanya itu, bahkan ia mampu memimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah tahun 1942-1953. Sosok tersebut ialah Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo.
Ki Bagus merupakan putra ketiga Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Keraton Yogyakarta. Pada saat lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, 24 November 1890, Ki Bagus memiliki nama Raden Hidayat.
Perjuangan Ki Bagus untuk kemerdekaan Indonesia tak pernah lepas dari syariat Islam. Saat merumuskan Undang-Undang Dasar, ia mewakili golongan Islam bersama dr. Sukiman Wirjosanjoyo, Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ahmad Soebardjo, dan Haji Agus Salim.
Dari semua tokoh-tokoh tersebut, hanya Ki Bagus yang paling semangat memasukkan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada pembukaan Undang-Undang Dasar.
Ia juga pernah mengungkapkan jika pentingnya syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang BPUPKI pada 28 Mei 1945.
Ki Bagus paling getol memasukat kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta.
Sayangnya, banyak yang menolak usulan itu. Dilansir Historia.id, pemuka-pemuka agama di wilayah timur merasa terdiskriminasi oleh kalimat tersebut.
Pria yang tutup usia di 63 tahun itu sempat kesal. Namun, sedikit melunak setelah Teuku Mohammad Hasan diutus Sukarno untuk berbicara dengannya.
Hasan menekankan pentingnya persatuan. Meski demikian, Ki Bagus belum sepenuhnya merelakan kalau dasar negara Indonesia bukan Islam.
Pada masa penjajahan Jepang, pria yang mahir sastra Jawa, Melayu, dan Belanda ini menentang keras pemerintah militer Jepang karena aturan seikirei atau membungkukkan badan ke arah matahari terbit ketika taiso atau senam pagi.
Saat itu, pemerintah Jepang memang menerapkan aturan wajib taiso untuk negara jajahannya. Menurut Ki Bagus seikirei adalah tindakan musyrik.
Meski cita-citanya untuk menerapkan aturan Islam di dasar negara Indonesia selalu kandas. Hal tersebut tak serta merta membuatnya menjadi pemberontak.
Ki Bagus tetap ikut berjuang bersama para pahlawan yang lain. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, ia bersama santrinya bahkan membentuk Angkatan Perang Sabil.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar