Jejak Perjuangan Sanusi Pane

14 Nov 2019
  • BAGIKAN
  • line
Jejak Perjuangan Sanusi Pane

Berjuang di masa penjajahan enggak melulu harus angkat senjata, lo. Melalui karya sastra pun bisa, seperti yang dilakukan Sanuse Pane.

Lelaki kelahiran 14 November 1905, Muara Sipongi, Sumatra Utara, berjuang menyatukan Indonesia justru melalui karya-karya sastranya.

Sanusi Pane adalah sastrawan angkatan Poedjangga Baroe, yakni sebuah majalah yang terbit antara bulan Juli 1933 hingga Februari 1942.

Majalah tersebut memuat tulisan dari segala macam teori politik. Secara ideologis, Poedjangga Baroe mendukung negara modern bersatu dalam satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Tapi ada juga yang bilang kalau salah satu anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) ini adalah sastrawan di masa transisi antara angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka.

Pasalnya di satu sisi karya puisi Sanusi terikat dalam bentuk soneta seperti karya Muhammad Yamin. Tapi di sisi hasil karyanya mencerminkan idealisme Pujangga Baru.

Pria yang tutup usia pada tahun 1968 ini kerap kali mencari inspirasi pada kejayaan budaya dan tradisi lama di Indonesia. Misalnya puisi berjudul Arjuna dan Majapahit” atau karya drama umumnya seperti drama Kertajaya dan Sandhyakala ning Majapahit.

Keahlian Sanusi Pane didapat dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing.

Ia juga punya saudara yang juga menjadi tokoh nasional dengan karya sastra yakni Armijn Pane. Sementara saudaranya yang lain punya cara berbeda yakni mendirikan organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

BACA JUGA: Sitor Situmorang, Sastrawan Batak yang Tak Bisa Dibeli

Sanusi Pane sempat mengenyam pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatra Utara. Dilanjutkan dengan bersekolah di MULO di Padang dan Jakarta.

Setelah selesai tahun 1922, Pane sekolah lagi di Kweekschool di Gunung Sahari hingga tahun 1925. Selain itu, ia juga pernah kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari ontologi.

Ia sempat mengunjungi India ditahun 1929 hingga 1930. Selama menetap di India, ada banyak pengalaman yang ia dapat sehingga berpengaruh pada pandangan kesastraannya. Jadi, jangan heran kalau beberapa karyanya kerap mengaitkan budaya Hindu.

Saat ia kembali dari India, Sanusi Pane bekerja sebagai wartawan di majalah Timbul yang berbahasa Belanda. Sejak saat itu, Sanusi Pane mulai menulis berbagai karya sasta, filsafat dan politik.

Selain kesibukannya itu, ia juga menjadi pengajar di beberapa sekolah. Sayangnya, ia dipecat karena masih aktif sebagai anggota PNI.

Sanusi Pane adalah bukti pejuang di masa penjajahan yang tak harus angkat senjata. Bersama sastrawan lain di Pujangga Baru, Sanusi Pane mencoba mempersatukan Indonesia melalui bahasa Indonesia. Misalnya artikel berjudul Persatuan Indonesiasurat kabar Soeta Oemoem tahun 1935.

Di sana Sanusi menganggap jika karakteristik kebudayaan Indonesia dalam seni dan adat sudah ada sejak dulu kala. Ia menilai sejarah adalah rantai peristiwa sebelumnya sehingga tak akan bisa dipisahkan.

Pandangan itu sangat berbeda dengan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana, yang juga hidup pada masa tersebut.

  • BAGIKAN
  • line