Jejak Perjuangan Depati Amir hingga di Tanah Pengasingan

Depati Amir merupakan salah satu pejuang asal Bangka yang terkenal pemberani. Ia merupakan putra sulung Depati Bahren. Pada 1830, Belanda mengangkat dirinya menjadi pemangku adat.
Belum genap setahun menjabat, Depati Amir justru meletakkan jabatannya. Amir sempat meminta tunjangan kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Sayangnya, gayung tak bersambut. Pemerintah enggan memenuhi permintaannya. Amir kecewa. Ia pun tak sudi berkompromi. Berulang kali Belanda berupaya menangkap dirinya, tapi sia-sia belaka.
Bersama saudara kandungnya Depati Hamzah, mereka berjuang melawan Belanda. Pemberontakan Amir berpusat di Bukit Maras, Bangka.
Amir menjadi pemimpin pasukan. Perjuangannya mendapat bantuan dari orang-orang Tiongkok, terutama dalam memperoleh senjata.
Taktik perangnya tak sembarang. Amir menggunakan siasat perang gerilya. Ia membagi pasukannya menjadi dua bagian.
Pasukan besar ditugaskan untuk menyerang secara langsung. Sedangkan pasukan-pasukan kecil disiapkan untuk menyerbu titik vital pasukan lawan.
Menghadapi pemberontakan Amir, pihak Belanda sempat kewalahan. Pada April 1850, pihak Belanda mendapat tambahan pasukan dari Palembang Kompi ke-4, Batalion ke-1, dengan kekuatan 4 perwira dan 143 bintara dipimpin Kapten JH Doorschoot.
Nahasnya, lagi-lagi Belanda kewalahan. Amir dan pasukannya memberikan perlawanan sengit. Arkian, pada tahun yang sama, Komisaris HJ Severijn Haesebroek dikirim untuk berdiplomasi dengan Amir. Namun, perundingan tersebut menemui jalan buntu.
Bantuan untuk Belanda pun kembali didatangkan. Pada September 1850, Kapten Buys datang ke Bangka dengan menggunakan kapal uap Bromo dan Tjipanas dipimpin Kapten Buys.
Tak hanya itu, bantuan selanjutnya, pasukan pimpinan Kapten Blommenstein didatangkan lagi dan ditempatkan di sekitar Sungailiat, Pangkalpinang, dan Belinyu, terutama untuk melindungi parit-parit timah.
Setelah dua tahun bertempur dengan gigih, Amir sempat mengalami beberapa kesulitan. Mulai dari kurangnya pasokan makanan, hingga keputusan sebagian prajuritnya yang ingin kembali ke desa masing-masing.
Awal Januari 1851, Amir akhirnya berhasil ditangkap Belanda. Pada 7 Januari 1851, ia pun dibawa ke markas militer Belanda di Bakam. Pada tanggal 16 Januari 1851 ia dan saudaranya Hamzah dibawa ke Belinyu kemudian ke Mentok dengan kapal Onrust.
Akhirnya, pihak Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 3 Tanggal 4 Februari 1851 dan Surat Keputusan Nomor 21 Tanggal 22 April yang memutuskan Depati Amir dan Hamzah diasingkan ke Pulau Timor.
Meski demikian, hal tersebut tidak mengendurkan semangat juang Amir dan Hamzah. Dalam pengasingan tersebut, mereka pun didapuk menjadi penasehat raja-raja Timor, dan mengobarkan perang terhadap Belanda.
Selain itu, Amir juga melakukan penyebaran Islam di pulau tersebut.
Setelah beberapa tahun berada di pengasingan, akhirnya ia mengembuskan napas terakhir pada Selasa, 28 September 1869 di Kupang. Tak lama berselang, Hamzah wafat.
Mereka dimakamkan di pemakaman muslim Batukadera Kampung Air Mata, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Keterlibatan Depati Amir dan Hamzah di Kupang membuat budaya melayu Bangka sangat kental terasa di penduduk setempat, seperti upacara yang menyangkut kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Bahkan budaya melayu Bangka juga tampak pada tradisi masakan khas, pengobatan tradisional, dan pengetahuan bela diri.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar