Henk Ngantung, Mantan Gubernur DKI yang Hidup Sengsara

Henk Ngantung, sosok pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 1 Maret 1921 bukan hanya dikenal sebagai seniman.
Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 1960-1964 dan Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965.
Henk Ngantung adalah orang non-muslim pertama yang menjabat sebagai gubernur Jakarta.
Karya Henk Ngantung pun masih dapat kamu lihat di Jakarta. Salah satunya Monumen Selamat Datang Bundaran HI.
Monumen berupa patung sepasang manusia yang menggenggam bunga dan melampaikan tangan itu dibuat Henk atas perintah Sukarno tahun 1962. Tujuannya untuk menyambut tamu kenegaraan dalam rangka Asian Games IV.
Sayangnya, nasib buruk menimpa Henk setelah masa jabatannya berakhir sebagai gubernur. Aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kabarnya lekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat Henk dicap sebagai seorang komunis.
Henk hidup dalam kemiskinan di tengah iingar bingar kota Jakarta.
Cinta dengan seni
Henk Ngatung atau Hendrik Hermanus Joel Ngantung ialah anak dari seorang Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) Arnold Rori Ngantung yang menikahi Maria Magdalena Ngantung Kalsun saat dinas di Bogor, Jawa Barat.
Jiwa seni Henk sudah muncul ketika masih kecil.
Ia bahkan rela keluar dari MULO dan ingin mendalami seni lukis. Berbekal uang hasil pamerannya di Manado, ia pindah ke Bandung dan belajar dengan Rudolf Wengkart tahun 1937.
Henk juga mempelajari apa pun yang terkait seni, termasuk sejarahnya. Sejak saat, Henk mulai dikenal sebagai seniman.
Henk juga menjadi salah satu pendiri Lekra, sebuah lembaga seni yang kabarnya dekat dengan PKI. Inilah yang membuat Henk sengsara pada kemudian hari.
Masuk ke birokrasi
Sejak tahun 1957, Henk mulai masuk birokrasi pemerintahan sebagai anggota Dewan Nasional.
Keahliannya di bidang seni membuatnya dekat dengan Sukarno.
Ia pun sering dimintai tolong mendekorasi istana agar terlihat lebih anggun. Hingga akhirnya Sukarno memberikan kepercayaan lebih kepada Henk.
“Henk, Bapak ingin menempatkan Henk di Kotapraja Jakarta. Bapak ingin Henk mewakili Bapak. Bapak ingin kota ini cantik. Cuma Bapak belum tahu sebagai apa dan bagaimana. Nanti Bapak pikir-pikir dulu,” kata Sukarno pada Henk dalam buku Refleksi Pers Kepala Daerah Jakarta.
Dilansir dari Historia.id, konon PKI pernah mencalonkan Henk sebagai Gubernur Jakarta. Namun, panitia teknis menolak karena Henk dianggap tak punya pengalaman dalam pemerintahan.
Meski demikian, Sukarno punya kuasa. Pada sidang Dewan Pertimbangan Agung 1960, sang presiden merekomendasikan dua nama untuk gubernur dan wakil gubernur.
“Saudara Henk, saya sudah mengambil keputusan, mengangkat Kolonel Dr Soemarno sebagai Kepala Daerah Jakarta dan saudara Henk sebagai Wakil Kepala Daerah. Harap bisa bekerja sama.” memo yang diterima Henk ketika sidang.
Masa apes
Pada tahun 1964, ada keputusan baru di Jakarta. Soemarno yang masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri. Ini membuat kursi gubernur jatuh ke tangan Henk.
Sayangnya, gejolak pada tahun 1965 mengubah keadaan yang awalnya tampak bahagia menjadi duka.
Henk dicopot mendadak pada 15 Juli 1965. Tak ada alasan yang jelas. Hanya saja saat itu Henk sedang berobat ke Austria. Sejak itulah Henk hidup dalam kemelaratan.
Bukan hanya terpinggirkan karena dianggap dekat dengan sayap kiri, Henk juga hidup miskin.
Ia terpaksa menjual rumahnya di Jakarta dan pindah ke perkampungan. Deritanya terus ia rasakan hingga akhir hayatnya pada Desember 1991.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar