Geger Peristiwa Madiun Berdarah

Kemunculan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia bisa dikatakan membawa malapetaka bagi Indonesia karena banyak sekali peristiwa pembunuhan. Peristiwa itu adalah suatu pemberontakan yang sudah sering dilakukan oleh para kaum Komunis di Indonesia, sudah banyak sekali korban yang berjatuhan. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Komunis di Indonesia dikenal sebagai peristiwa Madiun. Bahkan, pada saat itu rezim yang berkuasa di Kamboja, rezim Khmer (1975-1979) beranggapan bahwa peristiwa Madiun bisa dibilang seperti The Killing Field.
Peristiwa Madiun juga dikenal sebagai peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Peristiwa ini tidak terjadi begitu saja atau ada hal yang melatarbelakangi peristiwa Madiun terjadi dan tujuan pemberontakan PKI Madiun juga memiliki beberapa tujuan. Lalu apa yang melatarbelakangi dan tujuan dari pemberontakan PKI Madiun?
BACA JUGA: Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi HAM Kelam Pada Orde Baru
Di awal kemunculannya Partai Komunis Indonesia sudah dianggap sebagai sebagai suatu organisasi yang dicap memiliki sifat “radikal”. Sebelum berbentuk partai, para kaum komunis mulai membangunnya melalui sebuah organisasi yang bernama Indische Sosiale Democratie Veereningen (ISDV). Organisasi tersebut terbentuk pada zaman kolonial Hindia Belanda atau lebih tepatnya di tahun 1913.

PKI tidak puas dengan sikap pemerintah yang lunak kepada Belanda.(Dok/ANRI)
Sementara itu, di eropa sekitar tahun 1917 terutama negara Rusia mulai membentuk republik dengan ideologi komunis. Dengan kehadiran paham komunis, maka bangsa-bangsa yang terjajah akan tertarik untuk menggunakan paham ini termasuk negara Indonesia (dijajah Belanda). Paham ini dipercaya dapat memberikan kebebasan kepada bangsa dan negara yang sedang dijajah. Dengan alasan itu juga, maka para kaum komunis Indonesia segera membentuk sebuah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Terbentuknya PKI dengan tujuan untuk membangun semangat masyarakat Indonesia terutama buruh untuk melakukan perlawanan atau pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda. Ternyata pergerakan PKI ini semakin lama semakin membesar, banyak masyarakat terutama para buruh dan para petani yang terkena rayuan atau janji manis dari para kaum komunis atau anggota PKI, bahkan bisa dibilang memiliki pengaruh yang cukup besar.
Pada masa itu, masyarakat yang bekerja sebagai buruh dan petani cukup banyak, seperti buruh yang bekerja di kantor pos, kantor kereta api, pabrik, dan lain-lain. Salah satu hal yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan PKI Madiun adalah perjanjian Renville yang telah disetujui, sehingga wilayah dari Republik Indonesia semakin mengecil dan semakin berkurang. Bahkan, kolonial Belanda memblokade jalur ekonomi Indonesia.

Tokoh PKI Musso dituding sebagai dalang utama peristiwa Madiun.(Dok/ANRI)
Pada 18 September 1948 pukul 03.00 pagi, FDR Madiun mulai merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh Sumarsono dan Djoko Sujono. Dalam serangan ini, terdapat dua perwira yang tewas terbunuh dan empat orang terluka. Hanya dalam hitungan jam, Madiun sepenuhnya sudah berhasil dikuasai FDR. Dua anggota FDR yaitu Setiadjit dan Wikana mengambil alih pemerintahan sipil dan membentuk Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun.
Setelah mendengar apa yang terjadi, Musso dan Amir menuju Madiun untuk mendiskusikan situasi bersama Sumarsono, Setiadjit, dan Wikana. Pada 19 September 1948 malam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan Musso sudah membentuk “Republik Soviet Indonesia”.
Pukul 23.30 di hari yang sama, Musso pun menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuding Soekarno dan Hattam menjadi budak imperialisme Amerika dan pengedar Romusha. Akan tetapi, setelah itu, beberapa pemimpin FDR justru memutuskan untuk berbalik arah dari Musso. Mereka menyatakan kesediaan untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia dan menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukan kudeta, melainkan upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah. Pada 23 September 1948, Amir juga menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah negara Republik Indonesia, bendera mereka tetap merah putih, dan lagu kebangsaan mereka masih Indonesia Raya.
Sayangnya, pemerintah Indonesia terlihat abai terhadap upaya FDR untuk mengakhiri konflik. Pemerintah justru menggunakan kesempatan ini untuk menghilangkan sayap kiri di Indonesia. Pemerintah mengirimkan Brigade Siliwangi Letkol Sadikin untuk mengerahkan pasukannya dan menguasai Madiun. Pemberontakan ini pun menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, serta beberapa tokoh lainnya.

Massa PKI di Madiun ditangkap oleh Tentara Keamanan Rakyat atas perintah Kolonel Gatot Subroto.(Dok/ANRI)
Guna menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI pun mundur ke pegunungan. Di bawah komando Amir, mereka melarikan diri dari Madiun dan menuju ke sebuah desa kecil bernama Kandangan, tempat di mana mereka menemukan amunisi dan senjata. Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka setelah tahu bahwa desa itu sudah diduduki oleh Batalion Divisi Sungkono yang dipimpin oleh Mayor Sabarudin. Pada 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500 orang dan Musso berhasil ditembak mati pada 31 Oktober 1948 ketika sedang bersembunyi di kamar kecil.
Sebulan kemudian, 29 November, Djoko Sujono dan Maruto Darusman juga ditangkap. Sementara itu, Amir juga menghadapi nasib yang sama. Ia ditangkap pada 4 Desember 1948. Pemberontakan berhasil dipadamkan saat Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan FDR lain yang tertangkap dieksekusi pada 19 Desember 1948. Perkiraan korban dalam peristiwa ini berjumlah 24.000 orang, 8.000 di antaranya dari Madiun, 4.000 di Cepu, dan 12.000 di Ponorogo.
Peristiwa Madiun meninggalkan stigma buruk terhadap PKI sebagai partai pengkhianat dan pemberontak di tengah perjuangan Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Stigma itu kemudian dengan gampang dilabelkan saat peristiwa G30S, dimana PKI kembali dituduh sebagai pengkhianat revolusi.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar