Folklor Danau Toba: Mitos atau Fakta?

Keindahan Danau Toba memang tak terbantahkan sepanjang zaman. Ia laksana mutiara Indonesia, yang mesti terpelihara.
Betapa tidak, hamparan alamnya begitu memesona. Keindahan itu pula yang mampu menyedot perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara.
Seperti diketahui, Danau Toba merupakan danau vulkanik raksasa. Di sana terdapat sebuah pulau besar, tepat berada di tengah-tengah danau bernama Pulau Samosir. Terletak di Provinsi Sumatra Utara, Danau Toba mendapat predikat sebagai danau terluas kedua sedunia.
Namun, di balik keindahannya yang sangat memukau tersebut. Danau Toba memiliki alur cerita rakyat yang masih terjaga hingga saat ini. Entah itu benar atau tidak. Yang jelas, folklor Danau Toba akan selalu terjaga dari generasi ke generasi.
Folklor Danau Toba
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang lelaki bernama Toba. Ia tinggal di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Tapanuli. Meski tinggal di gubuk kecil, Toba disebut sangat rajin bekerja seperti menanam sayuran di kebunnya.
Ia melewati hari demi hari seperti biasa. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Tapi ketika dirinya semakin menua, Toba mulai merasa bosan hidup sendiri. Demi menghilangkan penat, petani itu pergi memancing ke sungai besar dekat kebunnya.
Hingga pada suatu hari, usai memanen beberapa sayuran di kebun Toba bersiap memancing. Siang itu, matahari cukup terik. Namun, tidak mematahkan semangatnya untuk bergegas. Peralatan pun disiapkan.
Di tengah perjalanan menuju sungai besar itu, Toba sempat bergumam dalam hati. “Seandainya aku memiliki istri dan anak. Tentu aku tidak hidup sendirian seperti ini. Ketika pulang dari kebun, makanan sudah tersedia dan disambut anak istri. Oh! Betapa bahagianya,” kata Toba seperti dikutip dari gobatak.com.
Tak lama berselang, Toba sampai di lokasi. Mata kail pun ia lempar ke dalam sungai. Menunggu ikan sambil membawa pikiran ke harapannya: ingin segera berkeluarga.
Pada waktu bersamaan, kailnya tersentak. Ia menarik pancingan sekuat tenaga. Tidak menduga bakal mendapat tangkapan besar.
BACA JUGA: Dongeng Aksara Jawa: Kisah Tragis Empu Sengkala
“Wah,” katanya terperanjat. “Sungguh besar sekali ikan emasnya. Baru sekarang aku mendapatkan ikan seperti ini.” Ia pun menyudahi kegiatan memancing dan bergegas pulang.
Sesampainya di gubuk, Toba meletakkan ikan tersebut pada sebuah ember besar. Ia senang bukan alang kepalang. Jejingkrakan kebahagiaan. Ikan yang ia dapat, pikirnya, bisa menjadi lauk untuk beberapa hari ke depan.
Tidak mau menunggu waktu lama. Pemuda itu bergegas ke dapur untuk menyalakan api. Setelah menyala, ia kembali mengambil ikan emas.
Namun, saat berada beberapa jarak dari ember besar, Toba terkejut. Ember tersebut ternyata penuh uang koin emas yang sangat banyak.
Tak hanya itu, Toba juga terperanjat saat melihat perempuan cantik berambut panjang berada dekat ember. Matanya terbelalak. Keheranan sudah pasti. “Kamu siapa?” tanya Toba.
“Aku adalah ikan yang engkau pancing di sungai. Uang koin emas yang di ember tadi adalah sisik-sisik yang terlepas dari tubuhku. Sebenarnya aku adalah seorang perempuan yang dikutuk seorang dukun karena menolak dijodohkan. Karena engkau telah menyelamatkan dan mengembalikanku menjadi seorang manusia. Maka aku rela menjadi istrimu,” kata ikan emas yang sudah menjelma kembali menjadi perempuan cantik.
Toba sempat bergeming. Tapi tidak terlalu lama. Justru ia berpikir, doa dan harapannya ternyata dikabulkan Tuhan. Tanpa berpikir panjang, Toba menerima tawaran perempuan itu.
“Tapi ada syaratnya,” kata si perempuan.
“Apa itu,” balas Toba.
Perempuan berparas cantik itu mengutarakan kepada Toba tentang syarat dan sumpah bahwa jika suatu hari nanti ketika ia marah, Toba tidak boleh mengutarakan asal usul istrinya yang tak lain dari seekor ikan.
“Sebab, jika engkau mengatakan itu akan terjadi petaka dan bencana besar di desa ini,” kata si perempuan.
Toba menyanggupinya. Mereka pun akhirnya menikah.
Setelah memutuskan mengarungi rumah tangga, mereka tampak bahagia. Apa yang diharapkan Toba terwujud, bahkan sudah memiliki seorang anak lelaki yang mereka beri nama Samosir.
Samosir tumbuh besar. Ia hidup dalam kasih sayang kedua orang tuanya. Samosir juga mampu membantu ayahnya bertani. Setiap hari, pada waktu makan siang Samosir kerap membawakan makanan untuk ayahnya.
Hal tersebut berlangsung cukup lama. Hingga pada suatu hari, Toba merasa sangat lelah dan lapar. Ia menunggu sang anak yang tak kunjung datang. Telat begitu lama. Tak seperti biasanya.
Sepanjang perjalanan, Samosir mencium bekal yang dibawa untuk ayahnya. “Tampaknya masakan ibu hari ini jauh lebih enak dari biasanya,” gumam Samosir.
Ia pun mencicipi masakan tersebut sehingga tidak sadar bahwa bekal tersebut hampir habis dimakan.
Melihat lauk pauk hampir tak tersisa, Samosir sadar. Ia mempercepat langkahnya menuju sang ayah.
Tak lama berselang, Samosir melihat ayahnya tampak kelaparan dan kehausan. Meski berat hati, Samosir pun memberikan bekal kepada ayahnya.
Melihat lauk sudah hampir habis, mata sang ayah melotot. Wajahnya semakin memerah. Spontan Toba marah. Ia pun melempar bekal yang sudah hampir kosong tadi sambil mencerca.
“Kurang ajar kau, Samosir. Dasar anak ikan kau ini,” bentak Toba.
Amarah Toba meledak-ledak. Air mata Samosir justru mencair. Ia menangis sejadi-jadinya dan pergi berlari menuju rumah menemui ibunya.
Sang ibu yang tak tahu menahu merasa keheranan. Ia coba menenangkan sang buah hatinya.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya ibunya.
“Ayah marah besar. Ia pun menyebut aku anak ikan,” jawab Samosir.
Bagai tersambar petir siang bolong. Perempuan cantik yang dulu ikan emas itu kaget bukan kepalang. Tak mampu marah, justru sebaliknya. Menangis sejadi-jadinya.
Di waktu itu pula ia menyuruh Samosir lari menuju bukit. Awalnya Samosir menolak. Tapi luluh juga. Ia menuruti perintah ibunya tanpa banyak tanya.
Tak lama berselang, hujan turun begitu deras. Angin kencang disertai gemuruh petir menggelegar. Arkian air meluap sampai menenggelamkan seluruh desa tersebut.
Sumpah Toba telah dilanggar. Bencana pun tak bisa dihindar. Tak pelak genangan tersebut berbuah menjadi danau, yang kini disebut Danau Toba. Lalu pulau tempat Samosir berlindung disebutlah Pulau Samosir.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar