Dongeng Aksara Jawa: Kisah Tragis Empu Sengkala

Bisa dipastikan setiap negara di seluruh penjuru dunia memiliki keanekaragaman budaya masing-masing.
Hal tersebut dikarenakan budaya merupakan ciri khas suatu bangsa yang patut dilestarikan serta dijaga oleh setiap generasi. Begitu pun di Nusantara.
Di dalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa yang memiliki budaya atau leluri berbeda-beda dari tiap-tiap suku. Sebagai contoh, suku Jawa yang merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarahnya, suku Jawa banyak melalui masa-masa tatkala perkembangan ilmu pengetahuan mulai mewarnai corak kehidupan masyarakat.
Pun dengan cerita mitos, dongeng atau lainnya yang semakin menguatkan nilai-nilai historiografi dengan mengaitkan pemikiran kehidupan nyata seseorang pada zaman dahulu.
BACA JUGA: Asal Usul Tradisi Perang Pasola di Sumba Barat
Dengan masuknya budaya membaca dan menulis, otomatis membuat bangsa Jawa menjadi lebih maju dan beradab daripada zaman sebelumnya.
Seperti dikutip dari Mitologi Jawa karya Budiono Herusatoto, perkembangan bangsa Jawa mulai terhitung sejak tanggal 1 Srawana tahun 1 Saka atau bertepatan dengan tanggal 7 Maret 78 Masehi.
Tersebutlah kisah seorang pemimpin rombongan pertama brahmana dari India yang kemudian menetap di tanah Jawa kurang lebih satu abad.
Selama menetap, tulis Budiono, konon Empu Sengkala -nama brahmana tersebut- menciptakan sebuah bentuk atau model grafis aksara sebanyak 20, yang familier dengan sebutan: ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga.
Dikarenakan jasanya yang mampu meningkatkan peradaban itulah, arkian Empu Sengkala diangkat oleh rakyat Jawa menjadi Raja Medangkamulan dengan gelar Prabu Silih Wahana yang memiliki arti raja yang mampu mengubah zaman atau keadaan atau peradaban.
Kendatipun telah dinobatkan oleh rakyat Jawa menjadi seorang raja, Empu Sengkala atau Prabu Silih Wahana tetap menjadi individu yang bijaksana.
Tak hanya itu, ia pun berkenan mempelajari ilmu pengetahuan asli Jawa Purba, Pranata Mangsa yang telah dulu didaraskan secara turun temurun sehingga sudah melekat dalam hati orang-orang Jawa.
Tidak hanya memerhatikan serta mempelajari peninggalan leluhur orang Jawa, Prabu Silih Wahana melestarikan warisan purba tersebut dengan menorehkannya kedalam bentuk tulisan yang telah beliau ciptakan sendiri.
Berkat bantuan para pralebda Jawa -para ahli di bidang ilmu pengetahuan- serta bimbingan para pembesar kerajaan dari bangsa India, ilmu pengetahuan Pranata Mangsa kemudian menjadi Serat Pranata Mangsa.
BACA JUGA: Folklor Danau Toba: Mitos atau Fakta?
Tak ayal hasil dari karya itu menjadi pertanda akan kemajuan zaman baru bagi rakyat Jawa yang ditetapkan pada hari Sukra Manis (Jemuah Manis), hari pertama bulan pertama dan tahun pertama Saka.
Berkat bakti serta perhatiaannya yang cukup mendalam terhadap rakyat Jawa dan cerita rakyat (folklor) yang telah terlebih dulu ada, membuat rakyat semakin mencintai Prabu Silih Wahana.
Kemudian memberikan kembali gelar untuk sang raja menjadi Sang Aji Saka -Yang Termulia Raja Penancap Tonggak Pertama-.
Semenjak 20 bentuk aksara Jawa yang telah diciptakan Prabu Aji Saka tersebar luas menjadi suatu pengajaran ilmu pengetahuan tulis-menulis. Para adicarita -ahli pendongeng- pun mulai mendaraskan kisah tentang lahirnya aksara tersebut yang konon terjadi akibat kesedihan yang dialami Empu Sengkala karena kehilangan dua abdi setianya.
Sebagai penanda, di atas pusara mereka ditancapkan sebongkah batu besar yang kemudian dengan menggunakan jari telunjuknya diguratkan sebuah seloka (karya tulis).
Adapun dongeng yang terus didaraskan sampai pada abad pertengahan abad 19 sebagai berikut:
Ha-na-ca-ra-ka (Ada utusan),
Da-ta-sa-wa-la (Lalu bertengkar),
Pa-dha-ja-ya-nya (Sama-sama kuatnya/saktinya),
Ma-ga-ba-tha-nga (Menjadi Mayat).
Demikianlah dongeng asal muasal aksara Jawa yang menceritakan kisah tentang dua abdi setia Empu Sengkala: Dora dan Sembada.
Cerita rakyat yang semestinya harus terus dijaga dan dilestarikan. Cerita rakyat yang seharusnya tidak boleh usang seiring dengan berkembangnya zaman.
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar