Daan Mogot, Pahlawan yang Gugur di Tanah Rantau

28 Dec 2019
  • BAGIKAN
  • line
Daan Mogot, Pahlawan yang Gugur di Tanah Rantau

Coba tanya orang yang rajin wara-wiri Jakarta Barat Tangerang, ‘Apa itu Daan Mogot?’

Sebagian dari mereka pasti akan langsung terpikir sebuah nama jalan sepanjang 27,5 km yang menghubungkan dua Kota Jakarta dan Tangerang.

Hal itu memang enggak salah, karena Daan Mogot memang menjadi salah satu nama jalan yang cukup terkenal di Jakarta.

Tapi di balik tersohornya nama jalan tersebut, Daan Mogot adalah sosok pahlawan yang cukup disegani di masa awal revolusi.

Sebenarnya ada dua nama Daan Mogot, pertama yang terlibat di Permesta, dan kedua Daan Mogot yang gugur di Lengkong. Daan Mogot kedua inilah yang namanya disematkan sebagai nama jalan.

Bernama lahir Elias Daniel Mogot, pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 28 Desember 1928 ini merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia dan mantan anggota dan pelatih PETA di Bali dan Jakarta.

Daan Mogot gugur bersama 36 orang lainnya di selatan Kota Tangerang dalam pertempuran melawan tentara Jepang.

Daan Mogot merupakan anak dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien).

Ia diajak oleh orang tuanya ke Jakarta pada tahun 1939 dan menempati sebuah rumah di Van Heutsz Plein (kini bernama Jalan Cut Mutia).

Di sana ayahnya menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda. Kemudian diangkat menjadi kepala penjara Cipinang.

Bergabung dengan PETA

Di Batavia inilah karier militer Daan Mogot dimulai. Sejak usia 14 tahun ia sudah bergabung dengan tentara PETA, tiga tahun setelah keluarganya pindah dari Manado ke Batavia.

Saat itu, Daan Mogot menjadi angkatan pertama. Kariernya gemilang, meski belum memenuhi syarat perihal usia yakni 18 tahun.

Daan Mogot mampu menunjukkan kepandaiannya di dunia militer. Bahkan setahun setelahnya anak kelima dari tujuh bersaudara ini dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali. Di sana ia memiliki dua sahabat Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.

Mereka bertemu ketika mengikuti pendidikan gerilya di bawah Kapten Yanagawa.

Sayangnya, tahun 1944 Daan Mogot diminta kembali ke tanah Jawa, sementara Zulkifli Lubis dan Kemal Idris masih harus tinggal di Bali.

Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah tahun 15 Agustus 1945.

Masuk BKR dan mendirikan akademi militer

Setelah Indonesia merdeka, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR).

Ia langsung mendapat jabatan sebagai Mayor dan bertugas di bawah Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min, mantan Daidanco PETA dari Daidan I Jakarta.

Saat itu, Daat Mogot masih berusia 16 tahun.

Berbekal pengalamannya saat masih di PETA, Daat Mogor bersama perwira menengah lainnya menggagas berdirinya akademi militer untuk melatih calon perwira TKR.

Gagasan ini diterima oleh Markas Besar Tentara (TMB) hingga akhirnya berdirilah Militaire Academie Tangerang (MAT) dengan Daan Mogot sebagai direkturnya.

Pada tahun pertama, direkrut sebanyak 180 orang untuk dilatih sebagai perwira. Di antara mereka ada yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta.

Pada tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 5 November 1945, berdiri juga sekolah militer di Yogyakarta bernama Militaire Academie Yogya (MAY).

Tewas di Lengkong

Tahun 1946, Resimen Tangerang punya masalah dengan serdadu Jepang karena tak mau menyerahkan senjata meski mereka telah kalah.

Mayor Daan Yahya kemudian memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo untuk mengangani masalah ini.

Daat Mogot diminta melakukan pendekatan dengan Kapten Abe dari tentara Jepang yang tak kooperatif itu.

Bersama 70 kadet dari MAT, 8 tentara Gurkha, dan beberapa perwira, Daat Mogot melakukan perjalanan ke depot senjata Tentara Jepang di Lengkong.

Awalnya, situasi benar-benar kondusif. Daan Mogot serta Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti masuk ke kantor Kapten Abe. Sementara, pasukan kadet MAT menunggu di luar bersama.

Namun, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang tak tahu dari mana arahnya, “Duaar!”

Suara letusan senjata itu memicu pertempuran antara tentara Jepang yang sebelumnya hendak menyerahkan senjata dengan kadet MAT. Sayangnya, karena persenjataan yang tak cukup lengkap, kadet MAT menjadi sasaran empuk.

Dalam pertempuran pertempuran tersebut, Daan Mogot dihujani peluru dari berbagai arah dan tewas di tempat. Dalam catatan sejarah pada pertempuran itu ada 33 kadet dan 3 perwira gugur, 10 kadet luka berat, dan Mayor Wibowo beserta 20 kadet lainnya menjadi tawanan Jepang.

  • BAGIKAN
  • line