Cara Chairil Anwar Meramu Kata

Pagi baru saja meninggalkan malam.
Chairil Anwar bersama satu orang temannya berjalan menuju pesisir menguak-nguak keindahan dan pemandangan indah tepi pantai. Yang dimaksud bukan kecantikan sunrise atau lentik ombak di bibir pantai, karena hal itu sudah terlalu mainstream bagi seorang pujangga.
“Chairil berangkat dengan niat memperhatikan kesibukan dan gaya kehidupan masyarakat di pasar ikan sekitar pantai,” seperti dilansir dari Majalah Topik dengan judul ‘Chairil Anwar Manusia Jalang, Manusia Seutuhnya‘ terbitan 21 Mei 1984.
Dalam perjalanannya, Chairil yang terkenal sebagai orang banyak omong dan blak-blakan seketika itu hanya diam, pandangannya lurus ke depan, dan sesekali melirik ke temannya.
Kawannyan pun dibuat kebingungan.
“Apa kata lain dari marah, ya?” tanya Chairil memecah sunyi dengan tiba-tiba.
“Bersungut bisa,” jawab sang teman spontan dengan muka kebingungan.
Mendengar jawaban temannya, ia langsung menampik dengan dalih tak menggemari kata- kata klasik Melayu yang dianggapnya tak musikal.
“Kau ini, masih memakai bahasa klasik macam di zaman Malim Deman saja,” katanya sembari meminta kata lain.
Percakapan itu mengantarkan temannya ke kata ‘meradang‘.
Kata itu diterima Chairil, karena sebelumnya dia sudah menemukan kata itu dan menimbang-nimbang dengan kecocokan sajak yang akan ditelurkannya.
“Terkadang ada kata-kata yang berbulan-bulan kupikirkan dan kupikirkan lagi. Dan jika menemukannya puas sekali hatiku,” ungkap Chairil.
Selang waktu berganti, pada awal 1943 sang teman datang ke gubuk tempat Chairil bermukim.
Baru saja membuka pagar sang teman sudah diteriakinya. “Aku telah siap dengan sajakku. Akhirnya kupakai kata ‘meradang‘ dan kutambah dengan kata ‘menerjang‘,” kata Chairil menyambut kedatangan temannya.
Belum saja temannya di suruh duduk, ia sudah menyodorkan kertas berisi sajak penuh coretan, namun masih jelas terbaca.
Ibunya yang duduk di kursi repot depan rumahnya hanya tersenyum melihat tingkah Chairil muda.
Tak antikritik
Meski sang maestro yang satu ini terkenal dengan keegoisannya, namun bukan berarti ia antikritik.
Saat pertemuan itu juga pelopor puisi modern Indonesia itu langsung meminta masukan atas karyanya kepada sang kawan.
Kawannya menyarankan agar Chairil memilih kata-kata yang agak menterang sedikit, sama seperti para pujangga pada masa itu. Bukan Chairil namanya kalau tak menampik. Ucapan kawannya ia bantah dengan penjelasan singkat padat dan tepat.
“Nah, kau ketinggalan zaman, Sobat. Yang penting itu arti katanya bukan kata-katanya,” ucap Chairil menyampaikan pendapatnya.
Hidup total di dunia sastra
Pilihan hidup menjadi sastrawan sudah ia tetapkan sejak usia 15 tahun.
Setelah kedua orang tuanya bercerai, Chairil memilih ikut ibunya merantau ke Jakarta.
Ia memutuskan untuk tak menyelesaikan sekolah hanya karena telah memilih hidup sebagai pujangga.
Di Jakarta ia mulai pergi ke sana kemari berkawan dan membaca semua tentang sastra.
Ia hidup seakan hanya untuk sastra. Penghasilannya sedikit. Kebanyakan hidupnya dibiayai temannya dan bayaran hasil karyanya dari majalah.
“Demi karya ia kadang lupa rumah dan lupa makan. Ia sering tidur di emperan toko bersama gembel-gembel, nongkrong bareng sopir angkot, hingga berkawan baik dengan tukang sayur,” tulis majalah Monitor terbitan 16 April 1984.
Musim berlalu tahun pun berganti, temannya baru sadar bahwa sajak yang diperagakan dulu adalah puisi dengan judul ‘Aku’. Berikut bunyi lengkapnya;
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar