Armijn Pane, Sastrawan Pelopor Pujangga Baru

Periodisasi sastra Indonesia menempatkan Pujangga Baru sebagai salah satu peletak dasar kesusasteraan modern. Dalam periode ini terdapat beberapa pujangga atau sastrawan terkenal, salah satunya Armijn Pane. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana(STA), Armijn Pane dinobatkan sebagai pelopor angkatan Pujangga Baru.
Dilansir dari laman kemdikbud.go.id, Armijn Pane lahir pada tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Khazanah sastra Indonesia mencatat Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan tiga serangkai pendiri majalah Pujangga Baru. Media tersebut mengumpulkan penulis-penulis dari penjuru Hindia Belanda untuk memulai pergerakan modernisasi sastra.
BACA JUGA: Merenung Kembali Pidato Bung Karno Saat Proklamasi Kemerdekaan
Salah satu karya Armijn Pane yang terkenal hingga saat ini adalah novel Belenggu(1940). Novel Belenggu menceritakan kisah rumah tangga antara Dokter Sukartono dengan istrinya yang bernama Sumartini. Mereka menikah bukan atas dasar saling mencintai melainkan atas dasar keterpaksaan satu sama lain. Sukartono menikahi sumartini karena merasa sukartini cocok mendampingi hidupnya, sukartono melihat sumartini dari kecerdasan dan kecantikannya saja. Berbeda dengan Sukartono, Sumartini menerima tono sebagai suaminya atas dasar ingin melupakan kenangan masa lalunya. Alhasil setelah melangsungkan sebuah pernikahan, rumah tangga mereka tidak harmonis, setiap hari selalu dipenuhi dengan pertengkaran dan percekcokan.

Novel Belenggu merupakan karya monumental Armijn Pane.(Dok/kemdikbud.go.id)
Armijn Pane merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Setelah lulus ELS di Bukittinggi, Armijn Pane melanjutkan pendidikannya di STOVIA, Jakarta (1923) dan NIAS, Surabaya (1927) (STOVIA dan NIAS adalah sekolah dokter), kemudian pindah ke AMS-A di Solo (lulus pada 1931). Di AMS A-1 (Algemene Middelbare School), ia belajar tentang kesusastraan dan menulis, lulus dari jurusan sastra barat.
Sebagai pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia Muda, namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan. Saat itu ia memulai kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, dan dua tahun kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru.
Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932), mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan menjadi wartawan lepas. Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur. Menjelang kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka. Pada zaman Jepang, Armijn bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah kemerdekaan, ia aktif dalam bidang organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres kebudayaan dan pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) (1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Bagian Bahasa) hingga pensiun.
Salah satu ciri khas Armijn Pane adalah kegemarannya menggunakan nama samaran atau psedonim. Beberapa nama samaran yang digunakan yakni Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono.

Armijn Pane menurut para kritikus sastra memiliki gaya bahasa yang khas.(Dok/kemdikbud.go.id)
Dalam pandangan Teeuw kesusastraan sebelum perang dan sesudah perang diperlihatkan dalam karya Armijn Pane, salah seorang di antara sejumlah kecil pengarang yang sebenarnya terus-menerus menghasilkan tulisan kreatif sepanjang jangka waktu yang mencakup sebagian daripada kedua zaman itu. Akan tetapi, bukan keadaan luar ini saja yang menjadikan ia seorang tokoh zaman peralihan. Baik dari segi kerohanian maupun dari segi bentuk, ialah tokoh yang paling modern di kalangan Pujangga Baru, seorang pelopor kegiatan sastra yang meletus pada zaman revolusi.
Berikut beberapa karya sasta Armijn Pane yang meliputi puisi, cerpen dan drama. Puisi, Gamelan Djiwa dan Djiwa Berdjiwa. Cerpen Kisah Antara Manusia. 1952. Novel Belenggu. Kumpulan Cerpen Djinak-Djinak Merpati dan Kisah Antara Manusia. Drama Ratna dan Antara Bumi dan Langit”.
Tahun 1969 Armijn Pane menerima Hadiah Tahunan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pandangannya tentang kesusastraan tampak dalam tulisannya yang dimuat majalah Poedjangga Baroe No. 1, Tahun I 1933 yang intinya adalah bahwa pengarang sebagai hamba seni adalah hamba sukmanya. Jadi, seni pesanan bukanlah seni yang menghamba kepada sukma.
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul 10.00, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang pneumonic bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya. Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia enam tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di Jalan Setia Budi II No. 5 Jakarta.(*)
Berikan tanggapanmu di sini
Belum ada komentar